Kenikmatan Yang Pasti

Diposting oleh Gun Boy | 22.49 | | 0 komentar »

Sebelumnya kuperkenalkan diri namaku Rudy tinggi 170 cm berat badan 55 kg umurku sekarang 20 tahun asalku dari Sragen sekarang aku telah masuk jenjang perguruan tinggi negeri di kota Solo.

Pengalaman seks yang pertama kualami terjadi sekitar 4 tahun lalu, tepatnya waktu aku masih duduk di bangku SMU kelas 1 berumur 16 tahun. Karena rumahku berasal dari desa maka aku kost dirumah kakakku. Saat itu aku tinggal bersama kakak sepupuku yang bernama Mbak Fitri berusia 30 tahun yang telah bersuami dan mempunyai 2 orang putri yang masih kecil-kecil, namun di tempat tinggal bukan hanya kami berempat tapi ada 2 orang lagi adik Mbak Fitri yang bernama Wina waktu itu berumur 19 tahun kelas 3 SMK dan adik dari suami Kak Fitri bernama Asih berusia 14 tahun.

Kejadian tersebut terjadi karena seringnya aku mengintip mereka betiga saat mandi lewat celah di dinding kamar mandi. Biarpun salah satu dianatara mereka suadah berumur kepala 3 tapi kondisi tubuhnya sangat seksi dan menggairahkan payudaranya montok, besar dan belahan vaginanya woow..terlihat sangat oh..ooght nggak ku-ku bo..

Saat malam hari saat aku tidur dilantai beralaskan tikar, di ruang tamu yang gelap bersama Mbak Wina, awalnya sich aku biasa-biasa saja tapi setelah lama seringnya aku tidur bersama Mbak Wina maka aku akhirnya tak tahan juga. Malam-malam pertama saat dia tertidur pulas aku cuma berani mencium kening dan membelai rambutnya yang harum. Malam berikutnya aku sudah mulai berani mencium bibirnya yang seksi mungil, tanganku mulai meremas-remas buah dadanya yang padat berisi lalu memijat-mijat vaginanya yang, oh ternyata empuk bagai kue basah yang..oh..oh.., aku melihat matanya masih terpejam pertanda ia masih tertidur tapi dari mulutnya mendesah dengan suara yang tak karuan.

“Ah..ught..hh..hmm” desahan Mbak Wina mulai terdengar.

Tanganku terus bergerilya menjamah seluruh tubuhnya.saat aku menciumi vaginanya yang masih tertutup calana, ia mulai terbangun aku takut sekali jangan-jangan ia akan berteriak atau marah-marah tapi dugaan ku meleset.
Ia malah berkata, “Dik teruskan.. aku sudah lama mendambakan saat-saat seperti ini ayo teruskan saja..”


Bagai mendapat angin segar aku mulai membuka t-shirt yang ia gunakan kini terpampang buah dada yang seksi masih terbungkus BH. BH-nya lalu kubuka dan aku mulai mengulum putingnya yang sudah mengeras gantian aku emut yang kiri dan kanan bergantian.


“Mbak, maafkan aku tak sanggup menahan nafsu birahiku!”

“Nggak apa-apa kok Dik aku suka kok adik mau melekukan ini pada Mbak karena aku belum pernah merasakan yang seperti ini” jawab Mbak Wina.

Setelah puas kupermainkan payudarnya lalu aku mulai membuka rok bawahannya.biarpun kedaan gelap gulita aku tahu tempat vagina yang menggiurkan, terus kubuka CD nya, lalu kuciumi dengan lembut.

“Cup..cup..sret.. srett”, suara jilatan lidahku.

“Ought..ought..terus Dik enak..!!”
Karena takut ketahuan penghuni rumah yang lain aku dengan segera mengangkan kedua kakinya lalu kumasukkan penisku yang mulai tegang kedalam vaginanya yang basah.

“Ehmm..oh..ehh.. mmhh”, rintih kakakku keenakan.

Setelah kira-kira setengah jam aku mulai merasakan kenikmatan yang akan segera memuncak demikian juga dengan dia.

“Crot..cret..crett.. crett”, akhirnya spermaku kukeluarkan di dalam vaginanya.

“Oh..”

Rupanya ia masih perawan itu kuketahui karena mencium bau darah segar.

“Terima kasih Dik kamu telah memuaskan Mbak, Mbak sayang padamu lain kali kita sambung lagi yach?”

“Ok deh mbak”, sahutku.

Setelah selesai memakai pakaian kembali aku dan dia tidur berpelukan sampai pagi. Sebenarnya kejadian malam itu kurang leluasa karena takut penghuni rumah yang lain pada tahu, sehingga suatu ketika kejadian itu aku ulang lagi.

Masih ingat dalam ingatan hari itu minggu pagi, saat Mbak Fitri dan adiknya Asih bersama keuarga yang lain pergi ke supermarket yang tidak terlalu jauh dari rumah kami.Karena keadaan rumah yang sepi yang ada hanya aku dan Mbak Wina, aku mulai menutup seluruh pintu dan jendela. Kulihat Mbak Wina sedang menyeterika dengan diam-diam aku memeluknya dengan erat dari balakang.

“Dik jangan sekarang aku lagi nyetrika tunggu sebentar lagi yach.. sayang..!” pinta Kak Wina.

Tapi aku yang sudah bernafsu nggak memperdulikan ocehannya, segera kumatikan setrika, kuciumi bibirnya dengan ganas.

“Hm..eght.. hmm.. eght..!”

Karena masih dalam posisi berdiri sehingga tak leluasa melakukan cumbuan, aku bopong ia menuju ranjang kamar.
Kubaringkan ia di ranjang yang bersih itu lalu segera kulucuti semua pakaiannya dan pakaian ku hinggas kami berdua telanjang bulat tanpa sehelai benang pun yang menempel. Wow..tubuh kakakku ini memang benar sempurna tinggi 165 cm berat sekitar 50 kg sungguh sangat ideal, payudaranya membusung putih bagaikan salju dengan puting merah jambu dan yang bikin dada ini bergetar dibawah pusarnya itu lho.. bukit kecil kembar ditengahnya mengalir sungai di hiasai semak-semak yang rimbun.

Kami berdua tertawa kecil karena melihat tubuh lawan jenis masing-masing itu terjadi sebab saat kami melakukan yang pertama keadaan sangat gelap gulita tanpa cahaya. Sehingga tidak bias melihat tubuh masing-masing.

Aku mulai menciumi muka tanpa ada yang terlewatkan, turun ke lehernya yang jenjang kukecupi sampai memerah lalu turun lagi ke payudaranya yang mulai mengeras, kujilati payudara gantian kanan kiri dan kugigit kecil bagian putingnya hingga ia menggelinjang tak karuan.

Setelah puas bermain di bukit kembar tersebut aku mulai turun ke bawah pusar, ku lipat kakinya hingga terpampang jelas seonggok daging yang kenyal di tumbuhi bulu yang lebat. Lidahku mulai menyapu bagian luar lanjut ke bagian dinding dalam vagina itu, biji klitorisnya ku gigit pelan sampai ia keenakan menjambak rambutku.

“Ught..ugh..hah oh..oh..”desahan nikmat keluar dari mulut Kak Wina.

Setelah kira-kira 15 menit aku permainkan vaginanya rasanya ada yang membanjir di vaginanya rasanya manis asin campur aduk tak karuan kusedot semua cairan itu sampai bersih, rupanya ia mulai orgasme. Mungkin saking asyiknya kami bercumbu tanpa kami sadari rupanya dari tadi ada yang memperhatikan pergumulan kami berdua, Mbak Fitri dan adik suaminya, Asih sudah berdiri di pinggir pintu. Mungkin mereka pulang berdua tanpa suaminya dan kedua anaknya yang masih mampir ke rumah Pakdhenya mereka ketuk pintu tapi nggak ada sahutan lalu mereka menuju pintu daur yang lupa tak aku kunci. Aku dan Mbak Wina kaget setengah mati, malu takut bercampur menjadi satu jangan-jangan mereka marah dan menceritakan kejadian ini pada orang lain. Tapi yang terjadi sungguh diluar dugaan kami berdua, mereka bahkan ikut nimbrung sehingga kami menjadi berempat.

“Dik main gituan kok kakak nggak di ajak sich kan kakak juga mau, sudah seminggu ini suami kakak nggak ngajak gituan”, ucap Mbak Fitri.
“Ini juga baru mulai kak!” sahutku.

“Mas aku boleh nyoba seks sama Mas?” tanya Asih.
“Boleh”.
Aku dan Kak Wina selanjutnya menyuruh mereka berdua melepas seluruh pakaiannya.
“Ck.. ck..ck..ck..”, guman ku.

Sekarang aku dikerubung 3 bidadari cantik sungguh beruntung aku ini.

Mbak Fitri tubuhnya masih sangat kencang payudaranya putih agak besar kira-kira 36 B vaginanya indah sekali. Sedangkan Asih tubuhnya agak kecil tapi mulus, dadanya sudah sebesar buah apel ukuranya 34 A vaginanya kelihatan sempit baru ditumbuhi bulu yang belum begitu lebat. Pertama yang kuserang adalah Mbak Fitri karena sudah lama aku membayangkan bersetubuh dengannya aku menciumi dengan rakus pentilnya kuhisap dalam-dalam agar air susunya keluar, setelah keluar kuminum sepuasnya rupanya Mbak Wina dan Asih juga kepingin merasakan air susu itu sehingga kami bertiga berebut untuk mendapatkan air susu tersebut, sambil tangan kami berempat saling remas, pegang dan memasukam ke dalam vagina satu sama lain.

Setelah puas dengan permainan itu, aku meminta agar mereka berbaring baris sehingga kini ada 6 gunung kembar yang montok berada di depanku. Aku mulai mengulum susu mereka satu per satu bergantian sampai 6, aku semakin beringas saat kusuruh mereka menungging semua, dari belakang aku menjilati vagina satu persatu rasanya bagai makan biscuit Oreo di jilat terus lidahku kumasukkan ke dalam vagina mereka.

Giliran mereka mengulum penisku bergantian.

“Hoh.. hoo.. hh.. ehmm”, desah mereka bertiga.
Aku yang dari tadi belum orgasme semakin buas memepermainkan payudara dan vagina mereka, posisi kami sekarang sudah tak beraturan. Saling peluk cium jilat dan sebagainya pokok nya yang bikin puas, hingga mereka memberi isyarat bahwa akan sampai puncak.

“Dik aku mau keluar”

“Mas aku juga”

“Aku hampir sampai”, kata mereka bergantian.

“Jangan di buang percuma, biar aku minum!”, pintaku

“Boleh”, kata Mbak Fitri.

Aku mulai memasang posisi kutempelkan mulutku ke vagina mereka satu persatu lalu kuhisap dalam-dalam sampai tak tersisa, segarnya bukan main.

“Srep.., srep”.

Heran, itulah yang ada di benakku, aku belum pernah nge-sex sama mereka kok udah pada keluar, memang mungkin aku yang terlalu kuat.

Karena sudah tidak sabar aku mulai memasukkan penisku de dalam vagina Mbak Wina kugenjot naik turun pinggulku agar nikmat, sekitar 5 menit kemudian aku gantian ke Kak Fitri, biarpun sudah beranak 2 tapi vaginanya masih sempit seperti perawan saja.

“Dik enak.. Uh.. oh..teruss!”, desahnya.

“Emang kok Kak.. hh ehmm..”

“Mas giliranku kapan..?”, rupanya Asih juga sudah tak tahan.
“Tunggu sebentar sayang.”

Sekitar 10 menit aku main sama Kak Fitri sekarang giliran Asih, dengan pelan aku masukkin penisku, tapi yang masuk hanya kepalanya. Mungkin ia masih perawan, baru pada tusukan yang ke 15 seluruh penisku bisa masuk ke liang vaginanya.

“Mas.. sakit.. mas.. oght.. hhohh..”, jerit kecil Asih.

“Nggak apa-apa nanti juga enak, Sih!”, ucapku memberi semangat agar ia senang.

“Benar Mas sekarang nikmat sekali.. oh.. ought..”

Rupanya bila kutinggal ngeseks dengan Asih, Kak Fitri dan Kak Wina tak ketinggalan mereka saling kulum, jilat dan saling memasukkan jari ke vaginanya masing-masing. Posisiku di bawah Asih, di atas ia memutar-mutar pinggulnya memompa naik turun sehingga buah dadanya yang masih kecil terlihat bergoyang lucu, tanganku juga tidak tinggal diam kuremas-remas putingnya dan kusedot, kugigit sampai merah.

Karena sudah berlangsung sangat lama maka aku ingin segera mencapai puncak, dalam posisi masih seperti semula Asih berjongkok di atas penisku, kusuruh Mbak Fitri naik keatas perutku sambil membungkuk agar aku bisa menetek, eh.., bener juga lama-lama air susunya keluar lagi, kuminum manis sekali sampai terasa mual. Mbak Wina yang belum dapat posisi segera kusuruh jongkok di atas mulutku sehingga vaginanya tepat di depan mulutku, dan kumainkan klitorisnya.
Ia mendesah seperti kepedasan.

“Ah.. huah.. hm..!”

Tanganku yang satunya kumasukkan ke vagina Mbak Fitri, kontolku digarap Asih, mulutku disumpal kemaluan Mbak Wina, lengkap sudah.
Kami bermain gaya itu sekitar 30 menit sampai akhirnya aku mencapai puncak kenikmatan.

“Ought.. hmm.. cret.. crot..”

“Enak Mas..!” desah Asih.

Spermaku ku semprotkan kedalam vagina Asih dan keluarlah cipratan spermaku bercampur darah menandakan bahwa ia masih perawan. Kami berempat sekarang telah mencapai puncak hampir bersamaan, lelah dan letih yang kami rasakan.

Sebelum kami berpakaian kembali sisa-sisa sperma di penisku di jilati sampai habis oleh mereka bertiga. Setelah kejadian itu kami selalu mengulanginya lagi bila ada kesempatan baik berdua bertiga maupun berempat.

Namun sekarang kami sudah saling berjauhan sehingga untuk memuaskan nafsu birahiku aku sering jajan di kafe-kafe di kota Solo ini ataupun dengan teman-teman wanita di tempat kuliah yang akrab denganku. Tapi tak satu pun dari mereka yang menjadi pacarku. Nah, bagi teman-teman yang ingin berkenalan silakan kontak emailku. Pasti aku balas.

Bisnis dan Fun

Diposting oleh Gun Boy | 22.47 | | 0 komentar »

Bisnis dan Fun

"Maria", ia menyebut namanya sambil membalas jabatan tanganku. Buset
cakepnya, bisikku dalam hati ketika menatap wajahnya.
"Silahkan duduk dulu, bisa saya selesaikan sebentar pekerjaan
saya ?", tanyanya. Setelah mengiyakan aku berjalan ke sofa yang ada
di ruangan kantornya. Kuperhatikan ia sedang memeriksa beberapa
berkas dan sesekali menuliskan sesuatu. Kutaksir usianya tidak lebih
dari 25 tahun, cukup muda untuk seorang direktris yang membawahi
sekian ratus orang di sebuah industri garment. Mungkin warisan
babenya, pikirku.
Mengenakan blouse putih dengan dilapisi blazer berwarna biru cerah
membuatnya tampil matang dan elegant. Rambutnya yang hitam mengkilat
dan ikal bergulung-gulung sampai di punggungnya sangat kontras dengan
kulit wajah dan lehernya yang putih.
Ops! Dia menatapku dari balik kaca mata baca yang bertengger di ujung
hidungnya itu, merasa kepergok sedang memperhatikannya kurasakan
warna wajahku pasti sudah merah merona. Dia tersenyum sekilas
kemudian meneruskan pekerjaannya.
"Sorry ya, agak lama menunggunya" , katanya membuyarkan lamunanku.
Kulihat ia berdiri sambil merapihkan berkas-berkas yang ada di
mejanya. Sesaat kemudian ia melepas blazernya dan menggantungkannya
pada sandaran kursinya, ia kemudian berjalan menghampiri sofa dimana
aku duduk. Hmm, 10 cm di atas lutut, pikirku memperhatikan rok ketat
yang dikenakannya. Dengan santai ia mengambil tempat duduk di
seberang meja di depanku, ia melipat kakinya, rok yang dikenakannya
perlahan namun pasti bergerak naik mengekspos pahanya yang padat dan
putih mulus. Amboy.
"Aduh sampai kelupaan, mau minum apa nih ?", tanyanya sambil
tersenyum meyebutkan beberapa jenis softdrink. Kupilih apple juice.
Ia kemudian bangkit dan berjalan menuju ke salah satu sudut ruangan,
ada sebuah kulkas kecil disitu. Kemudian sambil membungkuk ia memilih-
milih dari isi kulkasnya, rok yang dikenakkannya lagi-lagi naik
memamerkan kemulusan bagian belakang pahanya. Dan di balik rok
ketatnya itu membayang bukit pantatnya sangat berisi dan seksi. Aku
menelan ludah sesaat. Ia benar-bernar menampilkan sebuah kecantikan
dari seorang wanita yang nampak matang.
Setelah meletakkan minuman di meja, ia kembali duduk dan
mempersilahkan diriku untuk minum. Sambil mengangkat gelas
kuperhatikan kembali ia melipat kedua kakinya. Oh shit ! C'mon man,
it's business, rutukku dalam hati mencoba meredam pikiran-pikiran
nakal yang mulai menggoda diriku. Aku akhirnya berhasil
berkonsentrasi penuh.
Ia kemudian mulai membuka pembicaraan dengan menerangkan maksudnya
untuk memakai jasa perusahaanku untuk menerapkan komputerisasi di
perusahaannya. Dengan piawai ia menerangkan struktur organisasi
perusahaannya dan prosedur-prosedur yang ada pada setiap bagiannya
beserta kendala-kendala yang mereka hadapi. Nampaknya ia betul-betul
menguasai seluk beluk perusahaan ini. Dari apa yang diterangkannya
sudah dapat kutengarai bahwa akselerasi perusahaan ini terhambat oleh
kurang cepat dan akuratnya pengambilan- pengambilan keputusan dan itu
disebabkan tidak tersedianya informasi yang akurat yang dibutuhkan
untuk pengambilan keputusan dalam waktu yang singkat. Memang sudah
waktunya perusahaan ini untuk melakukan komputerisasi, demikian hemat
kami berdua.
Hampir dua jam kami berbincang-bincang. Dari menit ke menit suasana
percakapan kami semakin lancar dan akrab. Ia kemudian memintaku untuk
mengajukan proposal. Kujawab bahwa untuk membuat proposal tersebut
aku membutuhkan waktu dan kesempatan untuk bisa melakukan analisa
sistem. "Of course, silahkan, mulai besok staff Bapak sudah bisa
mulai", jawabnya tangkas.
"Waktu ibu mungkin akan tersita sebagian untuk analisa ini, karena
kami ingin hasil analisa kami bisa match dengan pihak manajemen",
kataku sambil memasukkan berkas-berkasku ke dalam tas.
"Okay, no problem, disita seluruhnya juga boleh", balasnya setengah
bercanda.
Aku mohon pamit darinya, kuulurkan tanganku dan disambutnya menjabat
tanganku, "Tolong Bapak nanti bikin appointment dengan sekretaris
saya untuk besok jam berapa staff Bapak mau menemui saya, okay ?"
Jabatan tanganku sengaja tak kulepaskan, "Khusus untuk jadwal dengan
ibu saya sendiri yang akan turun tangan", jawabku sambil menatap
tajam wajahnya, kuremas perlahan tangannya. Ia tersenyum tersipu,
kulihat ada semburat merah di pipinya.
Keesokan harinya aku bersama beberapa staff mulai melakukan survey
untuk analisa sistem di perusahaan itu.
Maria benar-benar sangat membantu. Ia begitu apresiatif mengimbangi
setiap langkah penganalisaan yang kulakukan. Begitu mengasyikkan
bekerja bersamanya. Selama enam hari kami secara rutin melakukan
survey. Terkadang Maria menemaniku sampai larut malam membahas
langkah demi langkah yang akan diambil didalam melaksanakan proyek
komputerasi di perusahaannya. Kami berdua semakin akrab, sikapnya
sudah lebih santai menghadapiku, tak jarang kami bercanda hingga
tertawa terbahak-bahak. Sering dikala menghadapi berkas-berkas tangan
kami saling bersentuhan, terkadang ia mencolek lenganku disaat ada
yang ingin ia tunjukkan dari suatu berkas, namun semua itu masih
dalam batas-batas formal.
Pada hari terakhir kami sudah tuntas menyelesaikan seluruh prosedur
analisa, semua data yang diperlukan sudah lengkap terkumpulkan.
"Bu Maria, saya kira sampai hari ini sudah cukup hasil analisa kami",
kataku ketika akan pamit.
"I see, berapa lama waktu yang diperlukan untuk menyusun proposal",
tanyanya dengan nada serius.
"Mungkin seminggu", kujawab enteng, sengaja kubilang seminggu,
walaupun sebutlnya paling lama dua hari untuk menyusun sebuah
proposal dengan data selengkap ini, ingin kulihat reaksinya.
"Harus segitu lamanya ?", tanyanya. Kulihat ada nada harap-harap
cemas di suaranya.
"Nggak kok, paling juga cuman dua hari", jawabku sambil tertawa.
"Nah, gitu dong !", sahutnya dengan nada lega dan ceria
Yes, allright! That's the sign, sorakku dalam hati. Sebuah tanda yang
mungkin biasa untuk orang lain, namun tidak untuk diriku, aku terlalu
hapal untuk hal-hal yang begini. Otakku berputar cepat. Buntu.
C'mon ! Pikir, pikir, pikir, bisikku dalam hati mencari-cari sebuah
cara. Aha ! Entertainment ! That's the right answer. Adalah hal yang
wajar di dalam berbisnis menawarkan sesuatu yang bersifat
entertainment untuk lebih memantapkan hubungan. Lunch ! Itu yang
paling cocok, pikirku lagi. "Kalau nggak keberatan saya mau undang
Ibu untuk lunch siang ini, bersama Bapak juga tentunya",
kataku "melepas umpan" sambil menekankan kata "Bapak" dan kutatap
wajahnya untuk menyelidiki reaksinya.
"Okay, kebetulan saya sudah lapar juga nih", jawabnya ceria kemudian
menelpon sekretarisnya memberitahu bahwa ia akan keluar untuk makan
siang.
"Bapak nggak di-calling sekalian Bu ?", tanyaku.
"Ha..ha..ha. . Bapaknya masih belum terdaftar di Kantor Catatan
Sipil", jawabnya sambil menonjok perlahan lenganku. Kekakuan sikapnya
agaknya mulai mecair.
Dengan menumpang kendaraannya kami keluar dari lokasi
perusahaannya. "Mau makan dimana nih ?", tanyanya.
"Terserah Ibu deh, Ibu yang pilih, saya yang bayar".
"Maria".
"Kenapa Bu ?"
"Panggil saya Maria".
"Panggil saya Indra", sahutku pendek membalasnya.
"Saya kan nggak terlalu tua untuk kamu panggil Ibu terus ?", tanyanya
dalam nada canda.
Hari itu ia mengenakan kemeja putih tipis dipadu dengan blazer
berwarna ungu dan rok mini dengan warna yang sama, rambutnya yang
panjang bergelombang itu diikatnya dengan sederhana menggunakan
sebuah sapu tangan.
Mataku bergerak turun menatap lehernya, turun lagi ke gundukan bukit
dadanya, padat dan berisi, pikirku, kuperhatikan tangannya yang
sedang memegang setir, ada banyak bulu-bulu halus disana. Padangan
mataku turun lebih jauh lagi ke bawah. Ala mak ! Mataku terpaku pada
kedua belah pahanya yang kini terpampang jelas, rok mini yang
dikenakannya hampir tak dapat menutupinya, terangkat tinggi sekali
hampir mencapai pangkal pahanya. Aduh mulusnya, tanganku bergetar.
Wait ! Don't screw up nDra ! That's too fast, hatiku bergolak menahan
pikiran nakalku.
"Mau makan di mana nih ?", tanyanya membuyarkan lamunanku.
"Hah ... apa ?", aku tergagap.
"Jalannya ada di depan, nDra !", ucapnya dengan menahan tawa sambil
tangannya dengan lembut memalingkan kepalaku yang dari tadi menghadap
ke arahnya.
"Di belakang juga ada kok", sahutku menggoda untuk membuyarkan rasa
gugupku. Kulepas dasiku agar lebih santai.
Akhirnya mobil kami berhenti di sebuah rumah makan pilihannya. Ketika
hendak melangkah masuk kuulurkan tanganku ke arahnya, ia pun
menyambut mengulurkan tangannya dan melingkarkannya di lenganku. Kami
berjalan beriringan masuk ke dalam rumah makan itu.
Kupilih meja yang paling menyendiri, kutanyakan jika ia suka.
"No, not there", katanya sambil menggelengkan kepala dan tersenyum.
Kemudian ia berjalan ke arah salah seorang waiter yang sedang
berdiri, kulihat ia sepertinya menanyakan sesuatu kepada si waiter.
Ia kemudian melambaikan tangannya kepadaku, kuhampiri dirinya.
"Gimana ?", tanyaku.
"Sini", jawabnya singkat sambil menarik tanganku. Sambil diikuti sang
waiter kami berjalan ke sebuah pintu, di dalamnya ada sebuah lorong
yang pada salah satu sisinya kulihat ada beberapa pintu yang tertutup.
Si waiter kemudian membuka sebuah pintu sambil mempersilahkan kami
untuk masuk. Rupanya itu adalah ruangan VIP.
Tak ada kursi satupun disana, hanya sebuah permadani berbulu tebal,
beberapa bantal berukuran besar dan sebuah meja pendek terbuat dari
kaca tembus pandang.
Kami memesan makanan dan minuman secara komplit, dessert, main lunch
dan appetizer. Setelah si waiter berlalu, Maria melepas blazer dan
menggantungkannya di sebuah hanger yang ada di dinding ruangan VIP
itu, saat itulah kutahu ia ternyata mengenakan bra berwarna hitam
yang nampak membayang jelas di balik kemeja putih tipisnya, membuatku
semakin terpesona akan kecantikan dan keseksian dirinya.
Ia kemudian melepas sepatunya, berjalan ke arah meja pendek itu dan
duduk dengan melipat kedua lututnya, meraih sebuah bantal dan
menyisipkan di belakang punggungnya.
"Gimana, nggak salah kan pilihanku", tanyanya dengan nada
riang. "Perfect !", sahutku sambil mengacungkan jempol, kemudian
kubuka juga sepatuku, melangkah menghampiri dan duduk berseberangan
dengan dirinya. Dari balik meja kaca itu kembali kulihat kedua belah
pahanya yang putih mulus terpampang di depan mataku.
"Kok gerah ya ?", tanyanya sambil muatannya mencari-cari letak AC di
ruangan itu.
"Masa sih? Kalau buatku udah lumayan nih dinginnya, cukupan", sahutku
heran.
Aku kemudian bangkit berdiri, kuhampiri letak AC di ruangan itu dan
kuperiksa setelan suhunya, ternyata udah mentok, kuberitahu dirinya.
Ketika aku duduk kembali, Maria mengibas-ngibaskan krah kemejanya
seolah kegerahan, kemudian ..... melepas satu kancing kemejanya .....
belahan dadanya menyembul ..... hmmm, putih sekali ..... ia menatapku
dan tersenyum. Oh boy! What a fucking teaser girl, pikirku dengan
dada mulai berdebar-debar.
"Hmm, sekarang baru terasa gerahnya", kataku kemudian kutatap dengan
tajam matanya, kugerakkan tanganku ke bagian atas bajuku, dengan
teramat perlahan kubuka satu kancing bajuku .... kulihat matanya
menyipit .... kubuka satu lagi ..... dan dengan perlahan kusibakkan
hingga dadaku terbuka menampakkan bulu-bulu yang tumbuh lebat di
sana .... kulihat ia mengigit bibir.
Beberapa saat kami terdiam saling menatap, kedua mata kami saling
bergantian menatap .... ke arah wajah .... turun ke dada .... ke arah
wajah kembali .... turun ke dada kembali .... kubiarkan ia mengamati
sinar mataku yang memancarkan gairah .... sinar matanya pun
mengalirkan pesona birahi ....
Beberapa saat kemudian terdengar ketukan di pintu dan beberapa waiter
dan waitress datang menghidangkan pesanan kami, membuyarkan keasyikan
kami saling menatap.
Makan siang itupun tak pelak lagi menjadi ajang pertarungan ....
antara getar-getar birahi diriku dan dirinya..... Saling melepas
panah-panah asmara .... namun kemudian mengelak .... Ahhh, jinak-
jinak merpati ! Maria betul-betul menguasai kematangan seorang
wanita. Terkadang disaat menelan hidangannya ia sedikit menjulurkan
lidahnya yang merah menyala itu, menjilat sesaat bagian bawah sendok
makannya, baru kemudian dengan perlahan memasukkan ke dalam mulutnya.
Begitu juga saat menikmati buah penutup hidangan, tak jarang ia
membiarkannya berlama-lama di depan bibirnya, sambil berbicara ia
menjilat dan mengecupnya, baru kemudian memasukkan ke dalam mulutnya
dan mengulumnya lebih dulu sebelum menelannya. Semuanya ia lakukan
dengan mempesona, tanpa menampakkannya sebagai sebuah kesengajaan,
begitu halus dan menggoda. Kuhela napas panjang, dudukku mulai terasa
tak nyaman, ada yang memberontak di bagian bawah pusarku. Kurutuki si
pemilik restoran yang menyediakan meja menggunakan kaca tembus
pandang, kurasa Maria dapat melihatnya , tatapan matanya berulang
kali mengarah ke sana.
"Okay ? Cukup ?", tanyaku seolah memberi tanda ajakan untuk pulang.
"Ha ? Eh ... Ya ... Okay ... Nice lunch", jawabnya tergagap.
Aku kemudian bangkit berdiri, tatapan Maria jatuh ke bagian bawah
pusarku yang sudah membengkak dan menonjol tak mampu tertutupi oleh
longgarnya kain celanaku. Sesaat kemudian sambil tersenyum Maria
menjulurkan tangannya sebagai tanda memintaku untuk membantunya
berdiri. Dengan sigap kutarik kedua tangannya, ia bangkit perlahan,
dan disaat belum berdiri secara sempurna dengan sengaja kuperkuat
tarikan tanganku, Maria menjerit lirih karena terkejut dan tak pelak
lagi ..... ia terhuyung-huyung dan jatuh ke dalam pelukanku. Wajahnya
hanya sesenti nyaris bersentuhan dengan wajahku.
"Sorry, terlalu keras nariknya", bisikku perlahan sambil
tersenyum. "Nakal !", sahutnya lirih sambil memukul dadaku perlahan.
"Masih ada yang lebih nakal lagi", kataku dengan nada menggoda dan
menatap tajam matanya.
"Ap...", belum selesai ia berbicara kukecup perlahan bibirnya.
"Kamu ... kamu ...", ucapnya terbata-bata, kedua alis matanya
berkerut. "Ssstt ...", sahutku perlahan sambil menutup bibirnya
dengan jari telunjukku, kutatap terus wajahnya, ia pun balas menatap,
tak lama kemudian kulihat sinar matanya mulai meredup dan semakin
meredup .... kemudian terpejam .... bibirnya merekah .... kudekatkan
bibirku perlahan-lahan ke bibirnya .... kubiarkan hanya nyaris
menyentuh .... hanya beberapa milimeter dari bibirnya .... kunikmati
kehangatan napas harum yang keluar dari mulutnya .... kuhirup
perlahan ..... Maria membuka sesaat kedua matanya ..... kemudian
terpejam kembali ... tangannya meraih leherku dan menariknya ....
bibirnya melumat bibirku ....
Cukup lama kami dengan bernafsu saling melumat bibir, hingga nafas
kami terengah-engah. Ciuman kami terlepas, kemudian perlahan kudorong
ia hingga tersandar di dinding, kutatap lagi wajahnya, tak ada tanda-
tanda penolakan. Perlahan tanganku bergerak ke atas, kulepas satu
kancing bajunya .... mataku tetap menatapnya .... masih tak ada tanda-
tanda penolakan .... kulepas satu lagi .... tiga kancing bajunya
terlepas sudah .... kedua tangannya bergerak menumpang pada bahuku
dan meremasnya .... kuturunkan sedikit badanku .... bibirku menyentuh
pangkal dadanya .... napasnya semakin memburu .... kuturunkan lagi,
hingga wajahku persis di hadapan dadanya, kulihat ada gesper di
bagian depan bra hitam yang dipakainya. Perfecto ! Kulepas gesper
itu .... buah dadanya menyembul keluar .... kudongakkan wajahku untuk
menatapnya .... Maria tampak merundukkan kepalanya memandangi
ulahku .... masih tak ada tanda-tanda penolakan. Tanganku bergerak
turun, meraba kedua pahanya .... sambil menaikkan kembali badanku
kuangkat kedua tanganku bergerak naik menyibakkan rok mini yang
dikenakannya .... dan lebih naik lagi ke atas .... hingga terhenti
pada bukit pantatnya ... Hmm, that's thong, pikirku menebak jenis
celana dalam yang dikenakannya karena kurasakan kedua telapak
tanganku terasa hangat menyentuh bongkahan daging padat nan kenyal
pada pantatnya, tak ada yang menghalanginya.
Wajahku kini berhadapan lagi dengan wajahnya, kepalanya tersandar di
dinding, kedua matanya meredup menatapku .... kuremas perlahan
bongkahan pantatnya ..... bibirnya merekah .... terdengar rintihan
halus dari dalam mulutnya .... kukecup lehernya .... Maria
mendesah .... kecupan bibirku berubah menjadi lumatan dan bergerak ke
bawah dan semakin ke bawah .... menelusuri pangkal dadanya .... lebih
ke bawah lagi .... menuju ke satu arah .... puting susunya yang merah
dan sudah runcing mengeras .... ketika bibirku mencapai puting
susunya kembali ia merintih .... kukulum perlahan-lahan .... dari
dalam mulut lidahku bergerak menyentuh ujung puting susunya ....
kemudian menjentik-jentikkan nya .... kedua tangannya bergerak meremas
rambutku dan rintihannya berubah menjadi erangan ....
Kulepaskan permainan bibir dan lidahku dari puting susunya ...
bergerak kembali ke atas .... sambil kuangkat salah satu kakinya dan
kutumpangkan pada pinggangku ..... wajahku kembali berhadapan dengan
wajahnya .... kedua matanya terpejam .... tanganku yang lain bergerak
membuka ikat pinggangku .... kemudian kancing celanaku ... dan
menarik turun resletingnya .... perlahan kukeluarkan dan kugenggam
Hercules kecilku yang sudah berdiri tegap meregang otot-otot yang
memenuhi sekujur tubuhnya ....
Sambil tetap menatap wajahnya kuturunkan sedikit tubuhku ....
mengarahkannya ... dan perlahan bergerak naik ke atas .... mencari
jalan ke pintu gerbang kenikmatan yang menanti untuk di dobrak ....
dengan tangan yang lain kusibakkan celana dalam yang menutupinya ....
hingga akhirnya kepala Hercules kecilku berhasil menyentuhnya ....
kedua mata Maria tiba-tiba terbelalak sesaat dan kemudian meredup
memandang wajahku ..... rasa hangat dari pintu gerbang itu mulai
terasa menjalar .... kugerakkan Hercules kecilku untuk mulai
mendobrak .... ahhh, sulit .... bagaikan ada perlawanan di balik
pintu gerbang itu .... posisi berdiri memang menggairahkan namun juga
menyulitkan pikirku .... Maria menggerakkan kakinya lebih naik lagi
pada pinggangku .... hmm, rupanya musuh mulai mau bekerja sama
pikirku .... kudorong kembali Hercules kecilku .... perlahan namun
bertenaga ia mendesakkan kepalanya tepat di belahan pintu gerbang
itu .... kudorong lagi .... belahan pintu gerbang itu mulai terbuka
sedikit .... Maria merintih .... kudorong lagi .... setengah dari
kepala Hercules kecilku mulai menyelip masuk .... Maria kemudian
menggelinjangkan pinggulnya dan kusambut usahanya itu dengan
mendorong lebih jauh lagi .... perlahan-lahan kepala Hercules kecilku
melesak masuk .... menerobos di antara celah pintu gerbang yang sudah
mulai terbuka itu dan ... Tok-tok-tok ! Kudengar suara ketukan di
pintu ! Oh shit ! Not now please, please, please, rutukku dalam hati.
Ketukkan di pintu semakin keras kemudian terhenti.
Kedua mata Maria terbelalak, wajahnya memucat, dengan agak kuat ia
mendorong dadaku. Ia memandangi pakaian di tubuhnya yang sudah tak
keruan letaknya itu, kemudian dengan tergopoh-gopoh ia membenahi.
Kubenahi juga celanaku. Maria kemudian membalikkan tubuhnya menghadap
tembok sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Oh shit!
Apes bener diriku, sesalku dalam hati. Hatiku gundah tak keruan
melihat Maria bersikap seperti itu.
"Maria ...", panggilku perlahan.
"Don't say anything, please!", ia memotong ucapanku sambil
menundukkan kepala dan mengibaskan tangannya.
"Ayo kita balik ke kantor deh", ajakku.
Akhirnya setelah membayar ke kasir, kami berdua keluar dari rumah
makan itu. Kami bergegas berjalan ke mobilnya. Kuambil alih untuk
menyetir. Selama dalam perjalanan di dalam mobil Maria membisu.
Sesekali kulirik dari sudut mataku, ia menyandarkan kepalanya sambil
jemari tangannya memijit-mijit keningnya, terkadang mengusap wajah
dengan saputangannya.

Hingga tiba di kantornya tak sepatah katapun yang terdengar selama
dalam perjalanan. Kami berdua saling membisu. Setelah aku turun dari
mobil kuberikan kunci mobil kepadanya, Maria tanpa melihat wajahku
meraihnya kemudian masuk ke dalam mobil dan mengendarainya lagi
keluar. Aku hanya bisa terpana melihatnya, akhirnya dengan suasana
yang tidak enak itu aku pun bergegas naik mobilku dan kembali ke
kantorku.
Setibanya di kantor aku mengurung diri dalam ruanganku, kepesankan
pada sekretarisku untuk menyetop semua tamu dan telpon yang masuk.
Seorang diri aku duduk termenung, merenungkan yang baru saja terjadi
tadi.
Tiba-tiba telpon di mejaku berdering mengagetkan diriku. Goblok bener
nih sekretaris, rutukku dalam hati.
"Kenapa ? Saya kan sudah bilang supaya kamu stop semua telpon
masuk ?", semprotku kepadanya.
"Anu Pak ... Maaf ... Saya sudah berusaha, tapi itu lho ...
sekretarisnya Bu Maria berulang kali menelpon", sahutnya terbata-
bata. "Kamu tampung aja apa pesannya".
"Sudah Pak, tapi dianya mau bicara langsung kepada Bapak."
"Ya sudahlah, sambungkan aja !", sahutku kesal. Mau apa sih si Dessy
sekeretarisnya Maria ini, pikirku dalam hati, padahal sebelumnya
sudah kuberitahu kalau ada sesuatu mengenai pekerjaan supaya ia
berhubungan langsung dengan staffku.
"Hallo, dengan Pak Indra ?", kudengar suara Dessy bertanya.
"Ya, kenapa Des ?".
"Sorry Pak Indra, saya mengganggu, soalnya sekretaris Bapak beberapa
kali saya hubungi mengatakan Bapak sedang tidak bisa diganggu".
"Memang saya pesan begitu kepadanya, kamu bisa langsung aja sama
staff saya kalau ada perlu".
"Bukan begitu Pak, emm .... Bu Maria yang menyuruh saya menelpon".
"Lho bukannya dia sudah pulang tadi ?", tanyaku heran.
"Memang betul, tapi barusan Bu Maria balik lagi ke kantor".
"Masih ada di kantor ?", tanyaku lagi.
"Ada Pak".
"Lho, kenapa dia nggak nelpon langsung ke saya ?".
"Maaf Pak, saya hanya diperintah untuk menghubungi Bapak"
"Okay, apa yang bisa saya bantu", jawabku melunak.
"Ngg .. Bapak disuruh datang ke kantor sekarang juga", ucapnya dengan
nada berhati-hati.
"Hah ? Kalau boleh tahu mengenai apa yaa ?", tanyaku lagi.
"Bapak diminta membawa proposal".
"Lho, gimana ini sih ? Saya kan janji paling lambat tiga hari
lagi ?" "Iya, saya juga tahu Pak, tapi memang begitu pesannya".
"Gimana sih Dess ? Kamu kan tahu, saya kan baru beberapa menit nyampe
di kantor saya, mana ada sih orang membuat proposal cuman dalam waktu
menitan ?", gerutuku kesal.
"Aduh ... gimana ya Pak, sebenernya saya juga paham, saya juga sudah
mengingatkan beliau, tapi nggak tau nih .... Bu Maria ngotot aja ...
gimana kalau Bapak datang aja deh, mungkin kalau Bapak yang
menyampaikan beliaunya mau mengerti", katanya memelas.
"Okay lah kalau begitu, sampaikan kepada beliau saya berangkat
sekarang".
Aku bergegas naik ke mobilku dan keluar dari kantor. Dalam perjalanan
aku berusaha menduga-duga. Bener-bener nggak masuk akal si Maria ini,
pikirku. Padahal ini adalah sesuatu yang jelas, kenapa dia bisa kaya
orang edan gitu, atau .... jangan-jangan .... Mampus lu ! Jelas ini
hanyalah akal dia untuk mutusin hubungan bisnis, pikirku lagi. Oh
shit! Ini resikonya kalau mencampur urusan bisnis dan "fun", abis dah
kesempatan, rutukku dalam hati.
Sesampainya di kantornya, dengan hati berdebar-debar aku menuju ke
ruangannya. Kulihat Dessy sekretarisnya masih ada di meja di depan
ruangan Maria, jendela kaca ruangan Maria tampak tertutup oleh kain
korden.
Dessy kemudian mengangkat telpon, memberi tahu Maria akan
kedatanganku. "Silahkan masuk Pak", katanya kepadaku setelah
meletakkan gagang telpon. Aku kemudian berjalan menuju pintu masuk
ruangan Maria, kuketuk perlahan kemudian kubuka pintunya.
Kulihat Maria duduk membelakangi mejanya.
"Ehm ...", aku mendehem. Ia tetap duduk membelakangiku.
"Maria ...", panggilku perlahan. Ia tidak menyahut.
"Maria, bukankah sudah kukatakan kalau proposal itu baru selesai tiga
hari lagi ?", tanyaku langsung ke persoalan.
"Sorry, itu hanya alasanku ke Dessy untuk memanggil kamu, aku tidak
bermaksud membicarakan soal itu", sahutnya perlahan.
"So ...?".
"You made a big mistake", tandasnya.
"Jadi kamu ingin membicarakan kejadian tadi ?", tanyaku sambil duduk
di kursi di depan mejanya.
Ia memutar kursinya menghadap ke arahku. Kuamati wajahnya, kedua
matanya tampak sayu. Aneh, tak tanda-tanda kemarahan, pikirku.
"Jadi kamu pikir itu kesalahan saya", kataku sambil mencoba tersenyum
kepadanya.
Maria bangkit dari duduknya kemudian berjalan ke arah depan meja dan
duduk di atasnya menghadap ke arahku. Hmm, sikap atasannya mulai
muncul, pikirku. Aku bagaikan seorang pegawai yang melakukan
kesalahan dan kini sedang bersiap-diap disemprot oleh sang atasan.
"You really made a mistake", ucapnya sambil menggeleng-gelengka n
kepala menatapku.
"Tapi bukankah kamu ....", tak kuteruskan ucapanku, karena kupikir
itu hanya memperpanjang masalah.
Maria kemudian menumpangkan salah satu kakinya ke yang lain, pahanya
yang montok dan padat itu terpampang di depan mataku. Busyet, masih
sempet-sempet 'seducing' juga nih cewek, ucapku dalam hati.
"Kamu memanfaatkan saya", ucapnya sambil menatap tajam ke arahku.
"Lho, kok kamu mikirnya begitu ?".
"Kamu memanfaatkan kelemahanku ...", ucapnya lagi dengan lirih.
"Maria, please, don't ever think like that".
"Apakah itu karena kamu punya kepentingan terhadap perusahaanku ?",
tanyanya dengan nada menuduh.
"C'mon .....", jawabku sambil menggelengkan kepala dengan perasaan
tak percaya.
"Jika kamu pikir dengan cara seperti itu kamu bisa mempengaruhi
keputusanku, kamu salah besar !", ucapnya tegas.
"Maria, c'mon .... it thus happened, we did it because we want it,
karena saya suka kamu ! Too much like you I think !", ucapku berusaha
meyakinkannya.
Ia terdiam.
"Maria, apapun yang terjadi ini adalah perusahaan kamu. You are the
boss ! Saya hanyalah orang luar, segala keputusan tetap berada di
tanganmu. But please, don't ever think that I'm using you ! Business
is business! Jangan campur adukkan dengan hal-hal pribadi di antara
kita", ujarku panjang lebar mulai gusar.
"But still you've made a mistake ....", ia tersenyum.
"Mistake, mistake , mistake ! Apa sih salahku ?", tanyaku dengan alis
berkerut.
Maria kemudian tertawa geli. Sialan nih cewek, pikirku.
Maria kemudian menurunkan kaki kanannya yang tadi menumpang pada kaki
kirinya, ia kemudian meletakkan di ujung kursi yang kududuki.
"Mau tau, hmm ?", matanya mengerling.
Kuanggukkan kepalaku.
"Because .....", ia tidak meneruskan ucapannya, telapak kakinya yang
menginjak kursiku perlahan bergerak di antara kedua pahaku.
"What ?", tanyaku mulai bisa tersenyum.
"You have pulled the trigger but .....", telapak kakinya bergerak
lagi lebih jauh.
"But ...?", sahutku sambil membenahi letak dudukku.
"Kamu tidak menyelesaikannya ....".
Kulihat ia menggigit bibirnya, telapak kakinya kini menyentuh bagian
dalam pahaku .... matanya menyipit .... telapak kakinya bergerak
lagi ... dan ... Ops !!! Naik ke atas gundukan kecil di tengah
selangkanganku.
Kutatap wajahnya, air muka yang kulihat ketika di restoran tadi kini
muncul lagi pada wajahnya. Lusty. Ia menggoyang-goyangka n telapak
kakinya perlahan-lahan ..... gundukan di tengah selangkanganku
semakin menggunung ....
Aku bangkit berdiri. Kudesakkan diriku mendekatinya, dengan sedikit
kasar kuselipkan tanganku ke dalam roknya, dengan tangan yang lain
kuraih pinggangnya hingga wajahnya hanya sesenti dari wajahku, ia
meletakkan kedua tangannya pada bahuku, napasnya terengah.
"So what to be my punishment, madam ?", tanyaku dengan tatapan tajam
ke matanya.
"Finish it !", jawabnya dengan suara mendesah.
Kugerakkan jemari tanganku menjalar semakin jauh di dalam roknya ....
hingga akhirnya menyentuh belahan di balik celana dalam model thong-
nya. Maria mendesah.
"When ...", tanyaku berbisik.
"Mmmhhhh ... now !".
Seketika itu juga kulumat bibirnya .... ia membalasnya dengan
bernafsu .... dan ketika ciuman dahsyat itu terhenti, dari dalam
mulutnya yang setengah terbuka itu Maria menjulurkan lidahnya ....
menerobos masuk ke dalam mulutku .... ujung lidahnya menyentuh ujung
lidahku .... menggesek-gesek .... kemudian perlahan menyapu bagian
atas lidahku .... kemudian ujung lidahnya naik menyapu bagian atas
rongga mulutku .... ditariknya perlahan-lahan hingga keluar dari
mulutku .... lidahku mengikuti menjulur ke dalam mulutnya ..... ia
menyambutnya dengan menyelipkan lidahnya di bawah lidahku ....
lidahku terjepit di antara lidah dan bibir atasnya .... kemudian
dengan perlahan-lahan ia menghisap sambil bergerak mundur hingga ke
ujung lidahku .... kemudian maju lagi sambil menyelipkan lagi
lidahnya di bawah lidahku .... demikian berulang-ulang .... Luar
biasa ! Maria memperagakan sebuah tehnik blow-job yang dilakukannya
pada lidahku. Pikiranku semakin melayang-layang membayangkan betapa
nikmatnya jika ini ia lakukan pada si Hercules kecilku.
Dengan napas sedikit terengah-engah ia memghentikan ciuman mautnya.
Jemari tanganku berusaha menyibakkkan celana dalamnya, kutelusuri
rimbunnya bulu-bulu halus yang ada di sana. Ia memejamkan mata dan
merintih lirih.
Kuhentikan sejenak gerakan tanganku, dan dengan tangan yang lain
kuraih gagang telpon sambil menekan nomor Dessy sekretarisnya.
Kutempelkan gagang telpon itu pada telinganya.
Maria masih memejamkan mata dengan napas terengah-engah.
"Ya Bu ?", samar-samar kudengar suara dari gagang telpon itu.
"Dessy .... ehhh ...."
"Ya Bu ?"
"Ehhh ... stop .... mmhhh ... semua telpon .... dan tamu ...."
"Ada lagi Bu ?"
"Selama satu jam ....."
"Dua jam !", bisikku sambil mulai melumat cuping telinganya, ia
menggelinjang.
"Ddddua jam ,Dessss !",pekiknya.
"Iya, iya Bu ... saya mengerti .... dua jam", sahut si Dessy terbata-
bata karena kaget mendengar suara boss-nya melengking ditelpon.
Maria meletakkan gagang telponnya, "Dua jam .... hmmm .... sounds
great .... ", ucapnya dengan membelalakkan mata, tangannya mulai
bergerak meraba kancing kemejaku, membukanya satu per satu ....
setelah kancing terakhir terbuka ia menarik kemejaku hingga terlepas
dari dalam celanaku.
Kedua jemari tangannya kemudian merayap naik ke dadaku .... mengusap-
ngusap dengan lembut bulu-bulu yang tumbuh lebat di sana .... dari
mulutnya keluar suara decakan ..... ia menatap wajahku .... seolah
ingin menikmati pancaran gairah yang sedang dipompakannya ke dalam
diriku .... ujung jemarinya kemudian merayap ke puting susuku ....
mengusapnya perlahan-lahan dengan gerakan melingkar ..... membuatnya
semakin mengeras ..... kurasakan napasku semakin memberat.
Usai menstimulasi puting susuku jemari tangannya kembali mengusap-
usap bulu-bulu di dadaku ..... kemudian turun .... mengikuti alur
bulu-bulu di tubuhku .... di bawah dada .... pada bagian perut ....
semakin ke bawah ..... hingga menemukan gesper ikat pinggangku .....
ia melepaskannya ..... kemudian kancing celanaku ..... kemudian
menarik turun resleting celanaku ....
Tangan kanannya kemudian menyelinap ke dalam celanaku dan sesaat
kemudian merayap meraba Hercules kecilku yang masih berada di balik
celana dalamku .... tangan kirinya bergerak menyelinap dari belakang
dan masuk ke balik celana dalamku .... meremas bongkahan pantatku ...
tangan kanannya semakin bergerak semakin ke bawah .... kemudian
meremas-remas dengan lembut kantung dua bola yang ada di sana ....
Hercules kecil bergerak meronta .... meregang .... menggeliat ....
seluruh otot-otot di tubuhnya semakin mengeras ... dan semakin
mengeras .... bagian kepalanya tak tertahankan lagi menyeruak keluar
melewati batas atas celana dalamku .... jemari tangannya tak lama
kemudian bergerak naik kembali .... dengan menggunakan dua jarinya
Maria menjepit dengan lembut bagian bawah batang tubuh Hercules
kecilku ... kemudian kedua jari yang menjepit lembut itu bergerak
naik perlahan-lahan .... seolah hendak menebak-nebak lebar tubuh
Hercules kecilku yang sudah mengeras secara sempurna itu .... jemari
tangannya semakin naik .... kedua mata Maria tak sedikitpun
melepaskan pandangannya dari wajahku .... bibirnya menyungging
senyuman yang penuh dengan bias-bias nafsu birahi .... jemari
tangannya kemudian mencapai leher Hercules kecilku .... mengelus
bagian bawah kepalanya .... dan naik perlahan-lahan hingga ke
puncaknya .... kulihat matanya berbinar-binar .....
Tangan kirinya keluar dari balik celana dalamku .... ibu jari tangan
kanannya menekan pada leher Herculues kecilnya, mendorongnya hingga
tersandar rata pada dinding perut di bawah pusarku ....
Kemudian tangan kirinya bergerak, satu jarinya menyentuh kepala
Hercules kecilku ... menelusuri hingga ke puncaknya dan menyentuh
perutku .... jari itu kemudian bergerak mengelus perutku ... bergerak
ke kanan ... balik lagi ke kiri .... kemudian turun lagi ... kali ini
dengan dua jari ia melakukan hal yang seru .... menelusuri hingga ke
puncaknya dan menyentuh perutku .... kemudian bergerak mengelus
perutku ... bergerak ke kanan ... balik lagi ke kiri .... kemudian
turun lagi .... ia menambahnya hingga tiga jari .... menelusuri
hingga ke puncaknya dan menyentuh perutku .... kemudian bergerak
mengelus perutku ... bergerak ke kanan ... balik lagi ke kiri ...
menyentuh pusarku ....
Dari mulutnya tiba-tiba terdengar suara decakan, bola matanya yang
tak lepas menatapku semakin berbinar.
"What ?", bisikku.
"Terrific ! Seems so .... hmmm .... I like that size ....", bisiknya
kemudian menggigit bibir.
Gila nih cewek, pikirku. Baru kali ini kualami ada seorang cewek yang
mengukur 'jagoanku' dengan cara seperti itu. Eksentrik dan sensual !!!
Kubuka satu per satu kancing kemeja putih tipis yang dikenakannya,
kutarik hingga terlepas dari roknya ..... kubuka gesper di bagian
depan bra-nya .... Maria menarik kepalaku dan memagut bibirku ....
satu tanganku mulai merambah buah dadanya .... meraba dengan
lembut .... setiap senti darinya .... mengusap dengan penuh perasaan
puting susunya .... lumatan bibirnya semakin menjadi-jadi ...
Kualihkan ciumanku pada batang lehernya .... turun hingga ke pangkal
lehernya ..... Maria mendesah .... kujulurkan lidahku ....
kesentuhkan pada pangkal lehernya ..... dengan teramat perlahan
kugerakkan naik .... naik lagi .... Maria mulai merintih ....
kusibakkan rambut yang menutupi belakang telinganya dan ..... ujung
lidahku bergerak menyelinap di belakang daun telinganya .... sambil
kuhirup semerbak harum rambutnya .... tubuhnya bergetar ....
Kedua tanganku kemudian bergerak turun kebawah .... kubuka resleting
roknya .... Maria menempatkan kedua telapak tangannya bertumpu pada
meja .... ia mengangkat pantatnya hingga terlepas dari meja ....
kuloloskan rok dan sekaligus celana dalam thong-nya .... melewati
kedua kakinya hingga jatuh ke lantai .... kedua kakinya naik ke
pinggangku ... tangannya memeluk leherku ...
Kusapu segala macam kertas dan alat tulis yang ada di mejanya hingga
sebagian terjatuh ke lantai, dengan perlahan kudorong ia hingga
tubuhnya rebah di meja .... tubuhku membungkuk dan menindih
tubuhnya .... bibirku merambah bibirnya .... lehernya .... buah
dadanya .... lidahku dengan liar menjilat kesana kemari ...
mempermainkan puting susunya .... desah dan rintihannya terdengar
silih berganti ....
Kemudian aku bangkit berdiri tegak lagi ... kuangkat tinggi-tinggi
kedua kakinya ... kulepaskan kedua sepatu hak tinggi yang masih
dikenakannya .... kuturunkan satu kakinya hingga menggantung pada
pinggiran meja .... kedua matanya setengah terpejam menatapku ....
kusandarkan kaki yang lain ke bahuku .... sejenak kemudian kunikmati
keindahan bagian bawah tubuhnya ..... kemulusan batang pahanya ....
rimbunnya belantara yang tertata rapi memenuhi di sekitar
selangkangannya .... dan ahhhh ... belahan pintu gerbangnya begitu
menggoda ....
Kugerakkan jari telunjukku menyusuri pahanya ... bergerak semakin ke
atas ... Maria menggerakkan kakinya yang menggantung itu semakin
melebar ..... jari telunjukku mulai menyentuh daun pintu
gerbangnya .... kuelus perlahan ... Maria menggeliat .... jari
telunjukku kemudian menyusuri belahannya .... bergerak mengelus
sepanjang belahannya .... Maria mendesah .... bongkahan pantatnya
sesekali bergerak lepas dari meja .... kudorong jari telunjukku
menyibakkan belahan pintu gerbangnya .... kugosokkan ujungnya naik
turun .... perlahan-lahan hingga menemukan bagian yang tepat untuk
menerobos .... dan sedikit demi sedikit jari telunjukku menyelusup ke
dalam .... Hmmm, that's so fucking wet, pikirku.
Setiap kali jari telunjukku bergerak setiap kali itu pula Maria
menggelinjang .... hingga akhirnya seluruh jari telunjukku terbenam
di dalam rongga kenikmatan itu .... begitu hangat dan licin kurasakan
di sekujur jariku ....
Kubiarkan jari telunjukku terdiam di sana .... kuraih telapak kakinya
yang menggantung di bahuku .... kucium dengan lembut mata kakinya ...
semakin ke atas ..... bibirku melumat bagian bawah betisnya .....
Maria merintih .... kujulurkan lidahku menelusuri betisnya ...
perlahan-lahan .... kurasakan ada remasan pada jari telunjukku yang
terbenam di dalam rongga kenikmatannya ..... ia mulai mengerang ....
lidahku semakin ganas menjilat dan bergerak semakin ke atas ....
tubuhnya kulihat sesekali melengkung ke depan .... ia semakin
merintih dan mendesah .... Kulepaskan ciumanku pada betisnya dan
kemudian kuturunkan kakinya menggantung pada pinggiran meja ....
kudoyongkan tubuhku ke depan bertumpu di meja dengan satu
tanganku .... kutatap wajahnya .... kedua matanya terpejam .....
bibirnya setengah terbuka .... mengalirkan desah dan rintihan yang
semakin membahana .... sekalipun tak kugerakkan telunjukku ....
kubiarkan menikmati sensasi yang ada di dalam rongga
kenikmatannya ... tubuh Maria semakin menggelinjang .... pinggulnya
bergerak-gerak ... telunjukku keluar masuk dengan sendirinya ....
bagaikan diremas dan dikocok-kocok perlahan-lahan .... Luar biasa !!!
Hasratkupun tak tertahankan untuk segera membenamkan wajahku pada
selangkangannya, aku mulai bergerak memposisikan diriku. Tunggu
dulu ! Let's have some fun, pikirku. Dengan berhati-hati kuangkat
gagang telpon, kugenggam bagian pendengarannya untuk memastikan tak
ada suara yang terdengar dari sana, kemudian kupencet nomor si Dessy
sekretarisnya.
Aku tertawa geli dalam hati.
Dengan menggenggam gagang telpon yang kuyakin kini sedang dikuping
oleh si Dessy, kudaratkan ciumanku pada perut Maria dan menelusuri
turun ke bawah hingga merambah rimbunnya belantara pada bagian bawah
tubuhnya. Aku duduk berlutut, wajahku kini benar-benar pas di depan
selangkangannya ... kemudian kudaratkan bibirku dan kulumat dengan
lembut daun pintu gerbangnya .... Maria menjerit lirih ... kujulurkan
lidahku menjilat belahan yang sudah merekah itu .... ia menjerit
tertahan .... ujung lidahku akhirnya bertemu dengan tonjolan di
bagian atas belahannya ..... kedua kaki Maria bergerak naik ke atas
bahuku dan menariknya hingga wajahku semakin terbenam di antara
selangkangannya .... ujung lidahku mulai bergerak menyentil-nyentil
tonjolan itu .... semakin lama semakin cepat ..... gerakan-gerakan
pinggul Maria semakin liar .... akhirnya kulumat dengan bibirku
tonjolan yang sudah mengeras itu .... desahannya berubah menjadi
desisan .... rintihannya berubah menjadi erangan ..... diselingi
pekikan-pekikan kenikmatan .... kedua tangannya mencengkeram ujung
meja tempat ia terbaring ..... pinggul dan pantatnya terangkat lepas
dari meja .... bergerak ke kanan ke kiri berputar .... tak
beraturan ... kepalanya terangkat ..... semakin lama semakin
tinggi .... akhirnya Maria terduduk, ia melepaskan cengkeraman
tangannya pada ujung meja dan ganti meremas rambutku .... cengkeraman
tangannya semakin lama semakin kuat .... kutahan dengan semakin
membenamkan wajahku ....
"Wait !!!", pekiknya.
Kuteruskan lumatan bibirku.
"Stop it .... please .... mhhhh ... adduuuhhh .... please,
please .... not now please ... ssshhh .... please .... don't make
me .... mmmmhhhhh", ia dengan kuat kemudian menarik kepalaku hingga
terlepas dari selangkangannya.
Sambil tersenyum kutatap dari bawah wajahnya, ia menatapku dengan
terengah-engah.
"Hhhh .... jangan sekarang .... not with your fucking eager
mouth ...".
Aku bangkit berdiri, saat itulah ia melihat tanganku menggenggam
gagang telpon. Ia terbelalak, kemudian dengan cepat ia berpaling ke
pesawat telponnya dilihatnya di bagian display tertera nomor tujuan
yang kupencet.
"Gila kamu !!!", ucapnya berbisik sambil merebut gagang telpon itu
dari tanganku dan meletakkan pada tempatnya.
Aku hanya bisa tersenyum geli.
"Gila yaa kamu, nDra ?", tanyanya kali ini dengan suara keras sambil
menahan senyum, tangannya bergerak mencubit dadaku.
"Sekali-sekali, let her has some fun ...", gurauku.
Kali ini ia tak dapat menahan tawanya.
"So ?", tanyaku sambil bergerak melingkarkan kedua tanganku pada
pinggangnya.
Maria melingkarkan tangannya pada leherku dan menariknya, bibirnya
melumat bibirku, hanya sesaat, satu tangannya kemudian bergerak
menelusuri dadaku dan semakin turun ke bawah kemudian bertengger di
selangkanganku.
"I want it so bad ...", bisiknya, tangannya meremas dengan lembut
Hercules kecilku, membuatnya bangun bersiaga kembali, kulihat bibir
Maria merekah sesaat dan kemudian ia menggigit bibirnya.
Tanganku mulai bergerak merayap menuju buah dadanya, kuusap perlahan-
lahan di seputar buah dadanya .... kemudian putingnya .... Maria
menggelinjang, "No, no , no ... nggak disini .... kamu harus dijauhin
dari telpon !", sambil tertawa ia mendorong tubuhku menjauh darinya.
Ia kemudian turun dari meja, sambil berjalan mundur ia mencengkeram
celanaku dan menarik diriku ke arah sofa, kemudian mendorongku hingga
jatuh terduduk di sofa.
"Wait there !", ucapnya sambil tersenyum dan telunjuknya menuding ke
arahku.
Kemudian ia berjalan ke arah pintu yang berhadapan dengan sofa itu,
kedua bongkahan pantatnya yang telanjang itu bergoyang-goyang seiring
dengan langkahnya yang begitu gemulai, begitu montok dan padat, hmmm,
pantat yang seksi, pantasan ia berani memakai celana dalam yang model
thong, pikirku. Kemudian ia menghampiri kulkas yang ada di samping
pintu itu, tubuhnya membungkuk, ia menekuk sedikit lututnya sambil
membuka pintu lemari es itu, kuperhatikan belahan pantatnya merekah
dan di bawahnya mengintip belahan pintu gerbang kenikmatannya.
Aku spontan menelan air liurku.
Ia berjalan ke arahku sambil membawa dua gelas berisi minuman.
Tubuhnya yang hanya mengenakan selembar kemeja yang tak terkancingkan
lagi itu benar-benar mempesona diriku, tak sedetikpun mataku
melepaskan pandangan dari tubuhnya. Rambutnya yang ikal hitam
bergulung-gulung sampai ke punggung .... wajahnya ... bibirnya yang
merah membasah .... buah dadanya yang begitu montok, padat dengan
puting susu yang runcing menghadap ke atas, bergoyang-goyang seiring
dengan langkahnya .... perutnya yang rata .... pinggangnya yang
ramping .... pinggulnya yang membulat seksi ..... rerimbunan yang
menutupi bagian atas selangkangannya .... ahhhh ...
Tak kusadari mulutku berdecak.
"Ngapain kamu mendecak-decak kaya gitu ?", tanyanya membuyarkan
lamunanku.
"Emmm .... nggak .... itu lho .... kagum .... ni perusahaan hebat
betul .... waitress-nya cakep banget, telanjang lagi !", jawabku
seenaknya. Maria tertawa terbahak-bahak.
"Company service", candanya sambil terseyum, ia menyodorkan segelas
softdrink kepadaku, kemudian duduk menyamping disebelahku, satu
kakinya menumpang di atas pahaku.
Kugeser sedikit tubuhku agar bisa lebih leluasa menatapnya. Maria
sambil meneguk minumannya ia menatapku. Kami salinhg berpandangan.
"You're so beautiful .... ", bisikku sambil mempermainkan
rambutnya. "Mmmm .... thanks, you're so sweet ...", ia tersenyum,
kemudian meletakkan minumannya di meja.
Maria kemudian bangkit dari duduknya dan bergerak duduk di atas
pangkuanku. Sambil menatapku ia meletakkan kedua tangannya pada
bahuku, meremas-remasnya dengan lembut.
Satu tanganku meraba dan meremas pinggulnya, tanganku yang lain masih
memegang gelas yang sesekali kuteguk sedikit isinya.
Sesaat kemudian kutempelkan gelasku ke perutnya, dinginnya minuman
dan es batu yang ada di dalamya membuat Maria menggelinjang sesaat.
Kuusapkan gelas itu naik ke atas, titik-titik air yang menempel pada
bagian luar gelas itu kini berpindah ke kulit tubuhnya .... membuat
garisan basah memanjang mulai dari pusarnya dan semakin ke atas ....
ke celah di antara dua buah dadanya .... kuusap-usapkan gelas itu di
sekitar buah dadanya .... kembali kudengar desahan dari bibir
Maria .... kuturunkan kembali usapan gelasku ke pusarnya .....
kemudian dengan agak kuat kutekan bibir gelas itu hingga menempel
pada dinding perutnya, dengan hati-hati kuangkat sedikit demi sedikit
bagian bawah gelas itu, hingga cairan minuman yang ada di dalamnya
membasahi perutnya dan jatuh kembali ke gelas tanpa terbuang ke bawah
sedikitpun .... Maria menggelinjang sesaat .... punggungya bergerak
menegap .... dengan cara yang sama kugeser bibir gelas itu bergerak
ke atas .... sambil sedikit demi sedkit menumpahkan isinya ... Maria
semakin mendesah .... punggungnya bergerak melengkung ke depan ....
buah dadanya yang montok dan padat itu semakin menonjol di
hadapanku .... cipratan-cipratan isi gelasku semakin mendekati buah
dadanya ..... dan ketika pada bagian yang tepat kutangkupkan mulut
gelas itu pada buah dadanya yang sebelah kiri dan melingkari
putingnya, terendam oleh minuman isi gelas itu .... tubuhnya
tergetar .... kulihat kepalanya mendongak ke atas dengan
rambut terurai lepas ke belakang tubuhnya ..... punggungnya semakin
melengkung ..... ia merintih ...... kukocok-kocok isi gelas itu ....
menjauh .... mendekat ... dan membasahi putingnya .... setiap kali
minuman isi gelas itu membasahi putingnya setiap kali itu pula
kudengar rintihannya .....
Beberapa saat kemudian dengan cepat kulepaskan gelasku dari dadanya
dengan sedikit menumpahkan isinya, kuteguk sampai habis isinya dan
kuletakkan di atas meja. Berikutnya wajahkupun terbenam di antara
montoknya buah dada yang ada di depanku. Kuhisap perlahan-lahan bekas-
bekas minuman yang membasahi dadanya .... putingnya .... Maria
mendekap kepalaku dengan kuat .... kedua tangannya meremas
rambutku .... desah dan rintihannya terdengar silih berganti ....
Maria kemudian mengangkat wajahku dan menciumku dengan bernafsu ....
bibirnya kemudian merambah pipiku .... telingaku .... kedua tangannya
bergerak mengusap-usap bulu-bulu dadaku .... lumatan bibirnya
beraliha ke leherku .... dan semakin lama semakin turun .... perlahan-
lahan .... melumat dadaku .... lidahnya sesekali menjilati bulu-bulu
yang ada disana .... dan ahhhhhhh ..... ia kini mengulum puting
dadaku ..... menghisapnya perlahan-lahan ..... satu tangannya mulai
merambah menelusuri perutku dan semakin turun .... menyelinap ke
dalam celanaku yang memang sudah terbuka sejak tadi ..... kemudian
meyelinap lebih jauh lagi ke dalam celana dalamku .... meraba si
Hercules kecil yang sudah tak sabar ingin bertempur .... lepas dari
puting dadaku lumatan bibir dan jilatan lidahnya bergerak turun ke
perutku .... turun lagi .... semakin turun ..... Maria kemudian
bergerak turun dari kursi .... ia duduk berlutut di antara kedua
kakiku .... kepalanya mendongak ke atas ... menatapku dengan penuh
birahi .... sesaat kemudian kedua tangannya bergerak melolosi
celanaku dan sekaligus itu pula ia menarik turun celana dalamku ....
kuangkat sedikit pantatku untuk membantunya .... Maria dengan
senyuman penuh nafsu menatapku sambil melemparkan celanaku jauh-jauh
ke lantai.
"You're mine now ....", bisiknya menatapku dengan sinar mata
menggoda, ia kemudian menggenggam si Hercules kecilku. Wajahnya
perlahan-lahan bergerak menunduk .....

Diamatinya jagoanku dengan seksama .... sambil tangannya perlahan-
lahan meraba naik turun ..... jari-jari tangannya dengan lembut
mengelus ..... mulai dari akar hingga ujungnya ..... menelusuri
setiap urat-urat yang sudah meregang dan bertebaran disana sini .....
ujung jari telunjuknya kemudian mengelus mulai dari bagian yang
paling bawah ..... dan perlahan-lahan naik mengikuti alur bulu-bulu
yang tumbuh hingga ke bagian tengah ..... kemudian ia mulai
menggenggam lagi lebih erat ..... dicobanya lebih erat lagi ......
tidak bisa .... genggaman jemari tangannya yang lentik itu telah
penuh dengan batang tubuh Hercules kecilku .... ahhhh .... kudengar
desahan dari mulutnya ..... Maria menggumamkan sesuatu yang tak jelas
kudengar ..... ia benar-benar pandai menikmati sensasi yang mengalir
melalui sentuhan-sentuhan jemarinya pada Hercules kecilku.
Sesaat kemudian ia melepaskan genggaman jemarinya, kedua tangannya
meyelinap ke belakang tubuhku .... meremas pinggulku dan menariknya,
berusaha untuk menggeser dudukku untuk lebih maju lagi ..... kubantu
dengan menyorongkan pantatku ke depan .... punggungku kini setengah
tersandar .... pantatku berada di ujung sofa ..... kedua kakiku
semakin terbuka lebar ..... jagoanku tersandar dalam keadaan
tegang ....
Wajah Maria kemudian mendekat ..... lidahnya menjulur keluar dan
ujungnya sesaat kemudian menyentuh kantung yang berada di bawah
Hercules kecilku ..... menyelinap lebih ke bawah lagi .....
kehangatan jilatan lidahnya mulai terasa mengalir ..... ujung
lidahnya semakin ke bawah .... dan semakin ke bawah ..... melewati
batas paling bawah dari kantung yang berisi dengan dua bola itu .....
dan semakin ke bawah lagi .... nyaris menyentuh rectum-ku .....
tubuhku tergetar ..... tanpa kusadari pantatku sudah terangkat dengan
sendirinya ....
Maria kemudian menatapku ..... tak lama kemudian ia menggerakkan
jilatan ujung lidahnya naik ke atas ..... perlahan-lahan .....
menggaris di antara rectum dan kantong bolaku ...... naik lagi .....
kedua matanya masih menatapku ..... menikmati setiap perubahan air
mukaku yang semakin memerah dibakar api birahi ..... ujung lidahnya
kini berada pada bagian akar Hercules kecilku .... salah satu
tangannya menyelinap di antara belahan pantatku ..... menyentuh
rectum-ku ..... dan merabanya ..... tubuhku tergetar lagi ....
tangannya yang lain kemudian bergerak keluar dari belakang
tubuhku ..... dengan satu jari ia menarik Hercules kecilku dari
sandarannya untuk berdiri tegap ...... Maria melanjutkan perjalanan
lidahnya ..... naik semakin ke atas ..... perlahan-lahan ..... setiap
gerakan nyaris dalam beberapa detik ..... teramat perlahan .....
melewati bagian tengah ..... naik lagi ..... ke bagian leher ......
kedua tanganku tak kusadari sudah mencengkeram ujung sofa .....
Ujung lidahnya naik lebih ke atas lagi dan .... Ops ! Hercules
kecilku meronta ketika ujung lidahnya menyentuh bagian terbawah dari
kepalanya .... perlahan-lahan dengan dibantu tarikan jari tangannya
ia melanjutkan jilatan ujung lidahnya mengelilingi bagian bawah
kepala Hercules kecilku ... desisan dari mulutkupun tak dapat kutahan
lagi .... berulang-ulang ujung lidahnya bergerak berkeliling .....
perlahan-lahan .... setiap putaran kurasakan bagaikan kenikmatan yang
tak pernah usai .... begitu nikmat .... begitu perlahan .... setiap
kali kutundukkan wajahku melihat apa yang dilakukannya setiap kali
itu pula kulihat Maria masih tetap memandang wajahku ....
Sesaat kemudian Maria kulihat melepaskan tangannya dari tubuh
Hercules kecilku, ia menyibakkan rambutnya ke samping .... satu
jarinya kembali menarik bagian bawah tubuh Hercules kecilku ....
dengan sedikit memiringkan kepalanya Maria kemudian mulai menurunkan
wajahnya mendekati kepala Hercules kecilku .... sesaat kemudian ia
mulai merekahkan kedua bibirnya .... ketika bibirnya nyaris menyentuh
ia menghentikan gerakan turun wajahnya ..... ia kemudian membuka
mulutnya lebih lebar .... kurasakan kehangatan hembusan napas dari
mulutnya pada kepala Hercules kecilku ... pandangan matanya kini
hanya tertuju pada ujung kepala Hercules kecilku .... ia semakin
lebar membuka mulutnya ... lebih lebar lagi ... dan ..... Luar biasa,
dengan berhati-hati ia memasukkan kepala Hercules kecilku ke dalam
mulutnya tanpa tersentuh sedikitpun oleh bibirnya !!!
Perlahan-lahan dengan sangat berhati-hati Maria semakin menunduk dan
memasukkan Hercules kecilku lebih dalam lagi ke mulutnya .... kini
seluruh bagian kepalanya sudah berada di dalam .... sesaat kemudian
bergerak perlahan-lahan semakin jauh .... hingga di bagian tengah
batang tubuh Hercules kecilku .... saat itulah kurasakan kepala
Hercules kecilku menyentuh bagian terdalam mulutnya .... tubuhku
tersentak sesaat ....
Maria kemudian menempelkan seluruh lidahnya pada tubuh Hercules
kecilku .... kedua bibirnya sesaat kemudian merapat .... kurasakan
kehangatan yang luar biasa nikmatnya mengguyur sekujur tubuh Hercules
kecilku ... perlahan-lahan kemudian kepala Maria mulai naik dengan
gerakan spiral ... bersamaan dengan itu pula kurasakan tangannya
menarik turun bagian bawah batang tubuh Hercules kecilku .... hingga
ketika bibir dan lidahnya mencapai di bagian kepala .... kurasakan
bagian kepala itu semakin membengkak dan sensitif .... begitu
sensitifnya hingga bisa kurasakan kenikmatan hisapan dan jilatan
Maria begitu merasuk dan menggelitik seluruh urat-urat syaraf yang
ada di sana .... selesai melumat kepala Hercules kecilku ia perlahan
kemudian menundukkan kepalanya lagi ..... mengulanginya dengan cara
yang sama ..... turun .... naik dengan gerakan spiral .... tangan
mengocok ke bawah ..... menjilat .... menghisap .... turun lagi ...
begitu seterusnya berulang-ulang .... aku tak mampu lagi
menatapnya .... tubuhku semakin lama semakin melengkung ke
belakang .... kepalaku sudah terdongak ke atas ... kupejamkan
mataku ....
Maria begitu luar biasa melakukannya ... tak sekalipun kurasakan
giginya menyentuh kulit Hercules kecilku ... tangannya yang lain tak
henti-hentinya meraba rectumku ... terkadang meraba
disekelilingnya ... terkadang ia menyentuhkan ujung kukunya tepat di
tengah-tengahnya .... Hercules kecilku semakin meronta-ronta ....
denyut-denyut nikmat semakin kurasakan belarian di sepanjang tubuh
Hercules kecilku .... seluruh otot di tubuhku serasa meregang ....
tak kusadari mulutku mengeluarkan erangan-erangan kenikmatan ....
silih berganti dengan namanya yang entah sudah berapa kali
kuteriakkan .... semakin lama kenikmatan itu semakin menggila ....
tubuhku menggelinjang ke sana kemari .... pikiranku sudah melayang-
layang jauh entah ke mana .... tak kusadari lagi sekelilingku ....
terhempas oleh gelombang kenikmatan yang mendera seluruh urat syaraf
di tubuhku ..... yang semakin tinggi .... dan semakin tinggi ... dan
ketika aku nyaris sampai di tepi pantai letak puncak kenikmatan ....
kurasakan ada sesuatu yang menahan laju perahu birahiku ..... aku
menggeliat ... meronta .... berusaha melepaskan sesuatu yang menahan
laju perahuku .... namun tarikan yang menahan itu juga semakin
kuat .... perlahan-lahan kemudian aku kembali ke alam sadarku ....
kurasakan sesuatu memijit dan mengurut belakang leherku ... kubuka
mataku ..... kulihat wajah Maria tersenyum berada di depan wajahku,
tangan kirinya berada di belakang leherku , kutengok ke bawah, tangan
kanannya menggenggam dengan erat persis di bagian leher Herculesku,
mencekiknya .....
"Wait lover ... save it for me .... I have better place for
that ... ", bisiknya sambil tersenyum dan menepuk-nepuk pipiku.
Gila ! Luar biasa ! Belum pernah kualami hal seperti ini. Memang ada
beberapa diantara wanita-wanita yang pernah 'mengayuh perahu birahi'
bersamaku terkadang juga suka mengendalikan. Tapi belum pernah aku
dikendalikan seorang wanita dengan cara sedahsyat yang barusan
kualami. Maria benar-benar menguasainya, ia dengan lihainya telah
menyeret diriku ke dalam gelombang kenikmatan, kemudian mengayun dan
menghempaskannya, dan akhirnya menghentikannya di saat yang tepat
sebelum tenggelam.
"You must be goddess ....", bisikku sambil menggeleng-gelengka n
kepala terkagum-kagum oleh kehebatannya.
Maria tertawa manja.
"Eh, bisa mati tuh kalo kamu cekik terus begitu ...", bisikku lagi
merasakan genggaman tangannya yang tak kunjung mengendur pada
Hercules kecilku.
Maria tertawa geli, "Is he okay now ? Jangan sampe mati donk ....
bisa gila aku nanti ...", balasnya sambil melepaskan genggamannya
pada Hercules kecilku yang masih berdiri tegap namun sudah lebih
tenang. Sesaat kemudian ia bergerak menempatkan kedua lututnya di
samping pinggangku , kedua telapak kakinya menekan sisi luar kedua
pahaku dan perlahan kemudian ia merangsek lebih maju lagi, bibir gua
kenikmatannya menempel pada perutku, kedua tangannya kemudian
memegang wajahku.
Ia merunduk dan mengecup bibirku .... kuusap punggungnya .... dan
turun kebawah meremas bongkahan seksi pantatnya ....
Maria kemudian mulai menaikkan bagian bawah tubuhnya lebih tinggi
lagi .... kusorongkan bagian bawah tubuhku lebih maju lagi hingga
pantatku lepas dari sofa.
Tangannya tak lama kemudian mulai menggenggam Hercules kecilku .....
pada saat itulah tanpa kusengaja dari balik ketiak Maria kulihat
seseorang memutar handle pintu ruangan kantor Maria .... pintu itu
akhirnya tanpa mengeluarkan suara terbuka sedikit demi sedikit ....
dari celah pintu itu kulihat ada kepala menyelinap masuk .... kepala
si Dessy sekretaris Maria !!!
Ia rupanya tak mengetahui kalau aku melihatnya, matanya terbelalak
menatap pemandangan luar bisa yang ada di depannya, mulutnya
ternganga ketika ia melihat Maria yang membelakanginya dalam posisi
setengah berlutut sedang menggenggam Hercules kecilku .... dan
menuntunnya untuk segera mendobrak pintu gerbang kenikmatannya .....
Ketika ujung kepala Hercules kecilku sudah berada di tempat yang
tepat, Maria perlahan menurunkan pantatnya .... ujung kepala
Herculesku menyentuh pintu gerbang itu .... Maria mendesah ....
sesaat kemudian ia mendesakkan miliknya untuk lebih turun ... dan
lebih turun lagi ... ujung kepala Herculesku mulai menyelip diantara
celah yang mulai membuka itu .... Maria berusaha mendesakkan lagi
tubuh bagian bawahnya .... tertahan .... didesaknya lagi .... masih
tertahan .... Maria membuka kedua lututnya lebih lebar lagi ..... ia
kemudian mendesakkan lagi pintu gerbangnya .... perlahan-lahan dengan
susah payah kepala Hercules kecilku menyelinap masuk .... terjepit
erat .... tubuh Maria tergetar sesaat .... ia kemudian melepaskan
genggaman tangannya .... kedua tangannya kini setengah bertumpu di
dadaku .... perlahan-lahan kemudian ia menurunkan bagian bawah
tubuhnya semakin ke bawah .... dan perlahan-lahan pula kurasakan
batang tubuh Hercules melesak masuk menelusuri gua kenikmatan
Maria .... mili demi mili .... begitu sesak kurasakan .... walaupun
terasa pula sangat licin dan hangat .... dan seiring dengan itu
rintihan kenikmatan Maria terdengar ... semakin dalam Hercules
kecilku menerobos masuk, kepala Maria semakin terdongak ke atas ....
hingga akhirnya gerakan turun tubuhnya terhenti .... kurasakan kepala
Hercules kecilku menyentuh bagian dasar gua kenikmatan itu .... Maria
terduduk dengan terengah-engah .... kuremas-remas pinggulnya ....
beberapa saat kami terdiam dalam posisi seperti itu ...
Maria kemudian menundukkan wajahnya, bibirnya menghampiri dan melumat
bibirku .... lidahnya masuk ke dalam mulutku dan saling memilin
dengan lidahku .... sesaat kemudian ia mengecup dan melumat leherku.
"Mmmmhhhh .... kasih tanda ...ehhhhh ..... supaya dia pergi ....",
bisiknya sambil mendesah di telingaku membuatku terkejut karena
ternyata ia juga tahu kalau ada yang mengintip.
Dan ketika kuperhatikan lagi si Dessy yang sedang mengintip di antara
celah pintu itu tampak menutup mulut dengan tangannya, terperangah
oleh pemandangan yang mengusik nafsu birahinya.
Untuk mengusirnya pergi akhirnya dengan iseng kulambaikan tanganku ke
arahnya, seolah-olah memanggilnya untuk mendekat. Kulihat mata Dessy
terbelalak, rupanya ia terkejut karena aku mengetahui kehadirannya,
sedetik kemudian ia buru-buru merapatkan kembali pintu itu.
"Gara-gara kamu iseng di telpon tuh ...", bisik Maria sambil
tersenyum. "Kamunya aja yang keterlaluan merintih-rintih ...",
balasku menggoda. "Ihh ... kamu emang gila kok .... pantesan si
Dessy ... auchhh ...", Maria menjerit lirih ketika di tengah
pembicaraannya kusodokkan Hercules kecilku menekan dasar liang surga
dunianya.
"Awas kamu ya ...", Maria meremas dadaku dan menggoyangkan pinggulnya
berputar-putar .... ahhhhh .... Hercules kecilku bagaikan dipelintir
dengan lembut .... kulumat puting susunya dengan bibirku ... Maria
menggelinjang dan merintih .... sambil menggoyang berputar pinggulnya
bergerak naik perlahan ..... batang Hercules kecilku bergerak keluar
hingga hanya kepalanya saja yang tertinggal di dalam .... perlahan-
lahan pinggul Maria bergerak turun .... hingga mentok ke bagian
dasar .... kemudian naik lagi dengan gerakan berputar .... turun
lagi .... begitu seterusnya ....
Bukan kepalang nikmat yang kurasakan .... tubuhnya naik turun
perlahan-lahan .... seiring dengan desah dan rintihannya .... kedua
tangannya tak henti-henti meraba dadaku .... terkadang ia memilin
kedua puting susuku dengan jarinya .... terkadang ia mengerang ketika
Hercules kecilku yang sudah mencapai dasar liangnya masih kutekan
lebih jauh ke atas lagi .... pikiranku kembali melayang-layang ....
terombang-ambing di tengah samudera birahi .... seluruh indera
tubuhku seakan terpaku kepada kenikmatan syahwat yang sedang
menjajahku .... menyaksikan seorang wanita yang cantik dengan tubuh
mulus seksi bergerak naik turun memompakan kenikmatan demi kenikmatan
ke sekujur tubuhku .... kurasakan Hercules kecil bagaikan seorang
narapidana yang tersekap di penjara .... meronta .... menerjang-
nerjang .... mengerahkan seluruh kekuatannya untuk bertahan ....
namun himpitan dinding penjara itu lebih banyak
mengendalikannya ..... membuatnya semakin lama semakin tak
berdaya .... kurasakan waktu baginya sudah tak lama lagi ....
kukerahkan segenap kemampuanku untuk bertahan .... kucoba mengatur
napasku yang terengah-engah .... Maria melumat bibirku ....
ahhhh .... betotan nafsu yang dipompakannya lebih berkuasa ketimbang
akal pikiranku .... nikmat yang kurasakan semakin memuncak ....
kucoba untuk memasukkan segala sesuatu ke dalam otakku .... sistem
analisa, struktur organisasi, komputer, design,
2x2=4,4x4=16, 16x16=... . terlambat ..... kurasakan Hercules kecilku
sudah berdenyut-denyut ....
"Ahhhhh .... biarin .... biarin nDra .... ssshh ... let it
go ....mmmhhh ....", bisiknya sambil mendesah, rupanya ia mengerti
aku sedang berjuang untuk menahan ejakulasiku ketika dilihatnya aku
terdiam dengan mata terpejam.
Maria kemudian memeluk dengan erat leherku ... menarikku hingga tubuh
kami melekat dan menyatu .... sesaat kemudian bibirnya merapat ke
bibirku ... kami saling melumat bibir .... Maria sesaat kemudian
menggerak-gerakkan pinggulnya tanpa menaik turunkan pantatnya ....
dan kurasakan Hercules kecilku bagaikan dikocok-kocok oleh sebuah
tangan yang sangat lunak dan licin .... terkadang terasa ada remasan-
remasan lembut .... Maria juga seakan terbawa oleh kenikmatan yang
diberikan kepadaku .... ia merintih dan mengerang di telingaku ....
kurasakan waktuku sudah semakin sempit ..... kupeluk tubuhnya dengan
sejadi-jadinya .... kenikmatan sudah berada di pinggir puncaknya ...
Herculesku bergetar-getar semakin keras dan .... satu ...
dua .... "Yahhhh .... lepasin .... ahhhhh ..... lepasin nDra".
Getaran itu semakin keras .... tiga ... empat ....
"Ahhh ... mmhhhh .... c'mon lover .... mmhhhhh ....", bisiknya.
Seluruh tubuhku kini bergetar dengan keras .... lima .... jebol ....
Hercules kecilku memuntahkan isi perutnya .... menyembur-nyembur ....
membasahi bagian dasar rongga kenikmatan Maria .... tak kusadari aku
sudah mengangkat tubuhku berikut tubuh Maria lepas dari sofa ....
setengah berdiri ...
Perlahan aku menurunkan tubuhku duduk kembali, kusandarkan kepalaku,
menikmati sisa-sisa gelombang kenikmatan yang baru saja kualami.
Napasku terengah-engah, begitu pula Maria.
"Ouchh ... hhhhhh .... thats right ... mmhhh ... so beautiful ...",
bisik Maria sambil mengecupi bibir dan keningku.
Namun kenikmatan itu berbaur dengan kekecewaan di dalam hatiku.
Chicken boy ! Loyo ! Kampungan, gerutuku dalam hati mengutuk diriku
yang tak mampu memberikan kepuasan kepada seorang wanita. Kutahu
Maria belum sampai ke puncak kenikmatannya.
Maria tak bergeming dari posisinya, Hercules kecilku yang masih
berada di dalam rongga kenikmatannya kini kurasakan sedikit melembek .
"You're so good, that was so nice Maria. Sorry, aku mengecewakan
kamu ...", bisikku meminta maaf.
"It's okay ...", bisiknya kemudian mengecup lembut bibirku.
Maria kemudian menjulurkan tangannya meraih gelas di meja yang masih beirisi sisa minumannya. Ia meneguknya sesaat, kemudian menyorongkannya ke bibirku, kuteguk hingga habis sisa minumannya.
Minuman dingin itu begitu nikmat membasahi kerongkonganku yang kering setelah 'berolah raga'.
Maria kemudian mencoba merengkuh tubuhku, kutahu keinginannya untuk berpelukan, kusorongkan tubuhku, kedua tanganku kulingkarkan ke punggungnya. Kami berpelukan erat.Tak lama kemudian, ada rasa dingin kurasakan pada punggungku, rupanya Maria menempelkan gelas yang tinggal berisi es batu itu ke punggungku. Rasa dingin itu perlahan-lahan bergeser naik ke atas dan berhenti di tengkukku. Nikmat rasanya. Sesekali tangannya yang lain memijit-mijit. Tak lama kemudian seluruh tubuhku terasa segar kembali, rasa dingin dari gelas dan pijitan-pijitan Maria itu telah mengusir rasa penat setelah bercinta yang kurasakan.Kurasakan bibir Maria yang sejak tadi berada di leherku kini mulai mengecupinya .... saling berganti dengan lidahnya yang juga mulai bereaksi .... mengalirkan rasa hangat ke dalam tubuhku .... silih berganti dengan rasa dingin pada tengkukku ... amboy .... kuresapi
nikmatnya perlakuan Maria pada diriku itu ....
Wait !!!
Ada sesuatu yang kurasakan pada bagian bawah tubuhku .... Ahhh .... kurasakan pada Hercules kecilku yang sudah melembek itu ada sesuatu yang meremas-remasnya .... darahku berdesir menyadari apa yang dilakukan Maria dengan menggunakan rongga kenikmatannya pada Hercules
kecilku .... remasan-remasan itu semakin terasa seiring dengan mulai tegapnya tubuh Hercules kecilku .... satu dua kali terkadang Maria menggerakkan pinggulnya .... Hercules kecilku semakin tegap ....
salah satu tangan Maria bergerak ke belakang tubuhnya .... turun mengusap kantong perbekalan Hercules kecilku .... gladiator kecilku mulai meregang keperkasaannya .... otot-otot si seluruh tubuhnya
mulai meregang .... bak binaragawan yang sedang berlomba .... kepalanya semakin lama semakin menjulur ke atas .... Maria semakin menggoyangkan pinggulnya .... dan .... Happ !!! Kepala Hercules
kecilku menyentuh bagian dasar gua kenikmatan Maria. Tubuh Maria tergetar sesaat.
"Yesss !!! I knew it ! I really knew it !", sorak Maria dengan suara berbisik, matanya berbinar-binar.
"Apaan sih ?", tanyaku sambil tersenyum.
"Nggak usah tanya-tanya ah ! You're really my lover. Jagoan ! Hebat kamu, cuman semenit udah .... hi...hi...hi" , Maria terkekeh. Aku hanya tersenyum, dalam hati aku benar-benar angkat topi
kepadanya. Ia benar-benar pandai menghargai perasaan pasangannya. Padahal kalau kupikir-pikir sebenarnya kalau nggak dari upayanya yang lihai itu mana mungkin aku bisa siap 'tanding-ulang' dalam waktu secepat itu. Kebiasaanku paling tidak butuh setengah jam, itupun kalau nggak ketiduran.
Maria menjulurkan tangannya untuk meletakkan gelas minumannya di meja. Ia menggerakkan tubuhnya naik, perlahan-lahan mengeluarkan Hercules kecilku dari rongga kenikmatannya, dan sebelum bagian kepalanya terlepas ia menggenggam bagian bawahnya, kemudian ia melanjutkannya hingga tinggal ujung kepala Hercules kecilku yang masih menempel di mulut gua kenikmatannya.
Maria terdiam beberapa saat dalam posisi seperti itu, dan perlahan-lahan cairan muntahan Hercules kecilku keluar dari dalam guanya, menetes dan jatuh ke kepala Hercules kecilku, kemudian mengalir ke
bawah membasahi pangkal pahaku.Setelah tak ada lagi yang menetes keluar, Maria mengambil tissue yang ada di atas meja, perlahan-lahan ia membersihkan cairan yang membasahi pangkal pahaku itu, tanpa membuat ujung kepala Hercules kecilku terlepas dari bibir liang syahwatnya.
Sesaat kemudian ia membuang tissue itu dan menggerakkan tubuhnya turun, membenamkan kembali Hercules kecilku untuk masuk ke dalam kehangatan rongga yang licin itu .... ia menggigit bibir bawahnya .....
Dan bagiku itu adalah suatu tanda untuk memulai lagi perjalanan bahtera birahi kami.
Kurengkuh tubuhnya dan tanpa memisahkan tubuh kami yang sudah menyatu perlahan kubaringkan ia pada sofa itu. Kuletakkan kepalanya pada sandaran tangan sofa. Tubuhku bertumpu pada siku menindih tubuhnya .... Kami saling berpandangan ..... kubelai rambutnya .... ia mengusap dadaku ....
"Kamu luar biasa ....", bisikku dengan nada kagum kepadanya.
"That's nothing .... I know that guys always better in the second round, coba lihat nanti", ucapnya dengan tersenyum menggoda.
"Hmmm ... you should be a goddess ...", ujarku memuji.
"Which one, Venus atau Aphrodite ?", tanyanya bercanda.
"Both !", balasku bercanda.
"Enough of this chit-chat !", sergah Maria, bibirnya melumat bibirku.Aku mulai menarik mundur prajuritku .... perlahan-lahan .... Maria semakin ganas melumat bibirku .... kudorong maju lagi ....
mundur .... maju .... semuanya dengan perlahan-lahan .... kedua tangan Maria pun tak tinggal diam .... berkeliaran di belakang tubuhku .... ia melepaskan lumatannya pada bibirku dengan napas
terengah-engah .... dan sesaat kemudian telah berubah menjadi desah dan rintihan .... tubuhnya mulai menggelinjang ..... sesaat kemudian ia menumpangkan salah satu kakinya ke atas sandaran sofa ....
mengangkang lebih lebar .... kedua tangannya kemudian merayap ke pantatku .... meremas dan menekannya .... setiap kali bergerak naik ke atas ia selalu menekannya kembali .... kucoba agak mempercepat gerak naik turunku .... ia kini melepaskan tekanan tangannya ..... kusadari keinginannya .... kuturunkan salah satu kakiku memijak lantai .... perpaduan posisi tubuh kami kini membuatku lebih leluasa untuk bergerak makin cepat .... pinggul Maria mulai bergerak mengimbangi .... kupercepat gerakanku .... kupercepat lagi hingga batas yang memungkinkan .... kupertahankan kecepatan itu tanpa mengurangi atau melebihinya .... kurasakan rongga kenikmatan Maria semakin membasah dan licin .... mulutnya tak henti-hentinya mendesah .... merintih ... mengerang .... kukerahkan seluruh tenagaku untuk memompakan terus kenikmatan demi kenikmatan kepadanya .... kurasakan kebenaran ucapannya ..... "guys always better in the second time" .... tak ada sama sekali tanda-tanda kekalahan pada Hercules kecilku .... ia begitu perkasa .... meregangkan seluruh otot-otot ditubuhnya untuk bertempur dengan gegap gempita .... mendesak .... menerjang kesana kemari .... tak memberi kesempatan sedikitpun kepada musuh untuk menguasai jalannya pertempuran .... memporak porandakan seluruh pertahanan musuh ....Maria semakin larut dalam kenikmatan .... bagian belakang tubuhku mulai dari punggung hingga pantat habis diremas-remasnnya .... ia kemudian menaikkan kedua kakinya melingkari pinggangku .... kedua tumitnya saling mengait .... mengunci tubuhku .... kedua tangannya menarik dan menekan pantatku .... pinggulnya naik bergerak ke atas menyambut setiap gerak turun tubuhku .... seolah ingin membantu menghujamkan Hercules kecilku lebih dalam lagi ke dasar liang kenikmatannya ....

Keringat mulai mengucur di seluruh tubuhku jatuh dan bercampur dengan keringat tubuhnya .... kedua tubuh kami bagaikan di hempas gelombang badai .... terbanting-banting ke sofa .... tulang pubic kami secara ritmis saling bertabrakan .... menerbitkan pekikan-pekikan lirih dari mulutnya .... wajahnya kian memerah .... kedua alisnya semakin mengernyit .... kurasakan dinding-dinding rongga kenikmatannya
semakin lama semakin menghimpit ..... otot-otot didalamnya semakin terasa meremas-remas .... kulihat kedua matanya sudah setengah terpejam .... mulutnya setengah terbuka dengan lidah mengambang di
tengah-tengahnya .... ia rupanya sudah berada di ambang puncak kepuasannya.
Tak lama kemudian ia memeluk diriku sejadi-jadinya ..... kubalas dengan memeluk erat tubuhnya ..... kubenamkan Hercules kecilku sedalam-dalamnya .... hingga menyentuh dasar ..... dan kubiarkan terdiam menekannya .... kunanti saat-saat yang paling mengesankan itu .... dan tak lama kemudian .... dinding-dinding rongga kenikmatannya mulai berkontraksi .... semakin lama semakin keras .... dan semakin keras .... berkontraksi dengan hebat .... Maria memekik
lirih .... kugerakkan pinggulku maju mundur perlahan-lahan .... sambil menekan tulang pubicnya dengan bertenaga .... kudekap dengan erat bongkahan pantatnya .... kontraksi itu semakin berkelanjutan ..... seiring dengan gerakan pinggulku .... dibarengi oleh pekikan-pekikan lirih Maria ..... seluruh tubuhnya bergetar hebat .... entah sudah berapa kali ia meneriakkan namaku disela-sela pekikannya .... hingga ia tak sanggup lagi meneriakkan pekik nikmatnya itu ... agaknya kenikmatan itu terlalu memuncak baginya ... Maria menggigit bahuku .... beberapa detik lamanya .... hingga akhirnya pelukannya mulai mengendur .... tangannya menahan pinggulku untuk menghentikan gerakannya .... tubuhnya terkulai .... kusandarkan
kembali kepalanya .... ia terpejam dengan napas terengah-engah ....Mungkin hampir dua menit lamanya ia dalam keadaan seperti itu, kubiarkan ia menikmati sisa-sisa kenikmatan yang barusan dirasakannya. Napasnya semakin teratur dan tak lama kemudian ia membuka kedua
matanya. "Beautiful .......", bisiknya lirih. Aku hanya tersenyum, kuusap keningnya yang basah oleh keringat, kemudian kukecup dengan lembut.Kedua tangannya kemudian mengusap punggungku, menyapu keringat yang membasahi di sana, kemudian wajahku, dadaku ....
Jari tangannya bagaikan otomatis memilin puting dadaku .... membuatku meggelinjang ..... Hercules kecilku yang masih berdiri tegar dan kokoh menggeliat di dalam benaman rongga kenimatannya .....

"I want more ....", bisiknya dengan suara mendesah.
"My pleasure lady ....", sahutku dan kemudian mulai mengecup dan melumat bibirnya.

Sesaat kemudian aku mulai bergerak lagi .... memompakan kenikmatan
bagi kami berdua .... yang semakin lama semakin memuncak .... desah
dan rintihannya kembali menggema memunuhi ruangan .... seiring dengan
gelinjang dan geliatan tubuhnya .... pinggulnya menari-nari
mengimbangi setiap ayunan tubuhku .... kurasakan dinding-dinding
rongga kenikmatannya semakin sensitif ..... hampir dalam setiap
gerakan tubuhku disambutnya dengan remasan-remasan ..... otot-ototnya
mencengkeram dan melepas bergantian .... seiring dengan keluar
masuknya Hercules kecilku .... mencengkeram disaat ia hendak
keluar .... dan melepaskannya ketika masuk ..... begitu nikmat ....
dan kenikmatan itu begitu terasa menguasai seluruh urat syarafku ....
nyaris kembali membobolkan pertahananku ..... namun Maria tak
membiarkannya .... ia menekan pinggulku untuk berhenti bergerak ....
dan terdiam beberapa saat untuk mengendorkan serbuan rasa nikmat yang
menguasai diriku .... hingga aku mampu mengontrol kembali diriku ....
dan bergerak lagi ... menabuh irama birahi bersamanya .... dan
menarikan tarian nafsu birahi .... menggelinjang ....
menggeliat ..... merintih .... mendesah .... mengerang .... silih
berganti .... dan menghentikannya disaat aku mulai kehilangan
kendali .... demikian seterusnya.
Entah sudah berapa kali aku terhenti untuk mengendalikan diriku,
terkadang aku sendiri mampu mengontrolnya namun tak jarang pula Maria
dengan piawainya mengetahui dan menghentikan irama percintaan kami,
namun dengan cara bercinta seperti itu yang jelas sudah beberapa kali
kurasakan serangkaian kontraksi pada dinding liang kenikmatannya yang
diiringi pekik-pekik lirihnya.
Maria benar-benar mengendalikan diriku, aku bagaikan 'sex-machine'
baginya, bagaikan 'kuda Troja' yang ditunggangi untuk mengantarnya
berkali-kali ke puncak kenikmatannya, namun aku tak perduli, karena
kenikmatan yang kurasakan juga benar-benar membuai diriku, begitu
lama, begitu panjang, membuatku lupa akan dunia nyata, lupa waktu,
lupa berada di mana, yang ada hanya diriku dan dirinya di suatu
tempat yang kutak tahu dimana dan apa namanya, semuanya begitu maya.
Tubuhku dan tubuhnya sudah bersimbah peluh hasil olah asmara kami,
namun semua itu tidak kami perdulikan, kami terus bergerak dan
bergerak.
Maria kemudian berbisik di telingaku meminta untuk berada di atas
ketika dilihatnya kedua tanganku yang menopang tubuhku tak kusadari
sudah gemetaran.
Dengan serta merta kuangkat tubuhnya untuk duduk dipangkuanku, Maria
membalas dengan memeluk erat tubuhku, kemudian dengan berhati-hati
kuputar posisi tubuhku dan perlahan-lahan rebah bersandar
menggantikan tempat Maria, tanpa melepaskan sedikitpun pertautan
tubuh kami.
Maria kemudian mulai menggerakkan pinggulnya .... kedua tangannya
bertumpu pada dadaku .... sesekali tubuhnya membungkuk mendekat dan
kemudian bibirnya melumat bibirku .... lidahnya terkadang menyelinap
masuk dan memilin lidahku .... dan jika tubuhnya menjauh dengan serta
merta kuciumi buah dadanya .... kuhisap puting susunya ....
membuatnya semakin mengerang-erang nikmat .... kedua tanganku tak
henti-henti menjalari seluruh tubuhnya ... punggungnya ....
pinggulnya ... kedua bukit pantatnya ..... dan meremas-remas di
sana .... menyentuh dan meraba rectumnya .... tubuhnya semakin hebat
menggelinjang dan menggeliat.. ... dan serta merta pula kurasakan
remasan-remasan pada sekujur tubuh Hercules kecilku semakin menjadi-
jadi .....
Kami bagaikan sepasang pendaki yang sedang menjelajahi rimba
asmara .... bergegas .... berpacu ..... mengerahkan seluruh
tenaga .... untuk bersama-sama menuju ke puncak kenikmatan ....
terkadang salah satu diantara kami tertinggal .... maka yang lain
menunggu dan menggapai untuk kembali berpacu bersama ..... saling
memacu .... saling menunggu .... seolah ada kata sepakat yang tak
diucapkan ..... hasrat yang tak tersirat .... yaitu ingin meraih
puncak itu secara bersama-sama .... kata-
kata "Tunggu !", "Wait !", "Not now !" dan semacamnya silih berganti
terucap oleh kami berdua ....
Upaya itu akhirnya tak sia-sia ketika Maria melihatku meregang
menahan nikmat dan kurasakan pula kontraksi liang kenikmatannya mulai
terasa .... dengan satu jeritan lirih ia menghujamkan pantatnya ke
bawah sejauh-jauhnya ..... Hercules kecilku melesak masuk hingga ke
akar-akarnya .... Maria kemudian merebahkan tubuhnya menindih
tubuhku ..... ia memeluk dan membenamkan wajahnya di samping
wajahku .... kupeluk dengan erat punggungnya .... kedua kakinya tak
lama kemudian merapat ..... dinding rongga kenikmatannya semakin
hebat menghimpit seluruh tubuh Hercules kecilku .... kemudian ia
menggerakkan pinggulnya naik turun dengan hanya mengkontraksikan otot
yang ada di pantat dan pinggulnya .... mengocok dan meremas batang
tubuh Hercules kecilku .... perlahan-lahan ..... denyut-denyut di
sekujur tubuh Hercules kecilku bagaikan saling sahut menyahut dengan
kontraksi liang kenikmatannya .... semakin lama semakin intens .....
Maria mengerahkan segala kemampuannya untuk menggiring gelora
kenikmatan kami selama mungkin ..... tak sekalipun ia mempercepat
gerakan pinggulnya ..... tetap perlahan-lahan ..... menggecak ....
meremas .... mengocok ..... rintihan dari mulutnya semakin menjadi-
jadi ..... silih berganti dengan namaku yang disebut-sebutnya .....
tubuhku dan tubuhnya semakin meregang ..... otot-otot diseluruh
tubuhku seakan dibetot keluar secara perlahan-lahan .... semakin lama
pelukan kami semakin menggila ..... kami berdua terengah-engah
berusaha menarik napas yang semakin lama semakin sulit ..... seiring
dengan kenikmatan yang sudah di ambang batas puncaknya .... sejengkal
demi sejengkal ..... langkah demi langkah ..... berusah meraih puncak
kenikmatan ..... kutahan napasku .... dan mungkin juga sudah tak
mampu bernapas lagi ..... dan ..... Byarrr !!! Tergapailah puncak
kenikmatan itu ..... gelombang demi gelombang kenikmatan menerpa
tubuh kami berdua ..... Maria menjerit-jerit histeris ..... saling
memeluk dan merengkuh dengan diriku .... seakan hendak meluluh
lantakkan masing-masing tubuh kami ..... gelombang itu tak surut-
surutnya melempar-lemparkan kedua tubuh kami ke dalam samudera
kenikmatan ..... bagaikan pusaran air ... menghisap dan menelan tubuh
kami ke dalamnya ..... hingga akhirnya kurasakan mataku berkunang-
kunang ..... pikiranku melayang-layang ..... sekelilingku serasa
buram ..... samar-samar .... yang ada hanya nikmat yang kurasakan
menggedor-gedor seluruh jiwaku ..... tak kusadari lagi semua yang ada
di luar diriku ..... bahkan tubuhku sendiri sudah tak terasa
lagi ..... entah ada entah tiada .....

Entah berapa lama aku dalam keadaan 'collaps' seperti itu, hingga akhirnya perlahan-lahan kurasakan sakit pada bahuku seiring dengan kesadaranku yang kembali pulih, saat itulah kusadari ternyata aku
masih menahan napasku dan serta merta dengan tersengal-sengal kutarik napas sebanyak-banyaknya. Kulihat bahuku yang berdarah dan bertanda bekas gigitan, samar-samar kudengar suara isakan tangis yang tertahan dari bibir Maria yang memeluk dan menyandarkan kepalanya di dadaku.

Ketika Duda ketemu Janda

Diposting oleh Gun Boy | 22.45 | | 0 komentar »

Tak pernah sekalipun terlintas dalam pikiranku kalau akhirnya aku harus menjadi seorang duda. Bagiku kehidupan perkawinan yang kulalui selama ini didasarkan atas rasa cinta. Aku mencintai istriku, begitu pula ia juga mencintaiku. Tapi ternyata cinta saja tak cukup untuk membina sebuah rumah tangga yang bahagia. Menginjak tahun ketiga usia perkawinanku, keutuhan rumah tanggaku mulai goyah. Apalagi sejak kelahiran anak kami yang kedua yang hanya berselang setahun dengan anak kami yang pertama. Aku memang sepakat dengan istriku untuk berproduksi secepatnya dan akan sedikit repot di awal-awal tahun perkawinan untuk membesarkan anak-anak dan setelah itu kami baru akan konsentrasi untuk karir, cari uang dan tujuan hidup yang lainnya.

Namun rupanya rencana tak berjalan seperti yang kami harapkan. Istriku terpaksa harus keluar dari kantornya yang bangkrut akibat krismon. Padahal kelahiran anak keduaku bagaimanapun cukup menambah pengeluaran kami. Sehingga aku terpaksa bekerja lebih keras, meskipun saat itu aku sudah menjadi wakil manajer di perusahaanku. Aku mulai kembali mengajar di beberapa perguruan dan akademi swasta, seperti yang pernah kulakukan pada saat belum berkeluarga dulu. Di sinilah
masalah keluarga mulai muncul. Beberapa bulan menganggur, istriku mulai uring-uringan dan kelihatan tertekan. Sementara aku harus sering pulang larut malam, karena aku tidak hanya sibuk mengajar, tetapi juga mulai aktif dipanggil sebagai pembicara di beberapa pertemuan-pertemuan bisnis.

Kondisi seperti itu berlangsung hampir satu tahun. Entah sudah berapa puluh kali aku bertengkar dengan istriku. Dari masalah yang sepele hingga masalah yang berkaitan dengan urusan ranjang. Istriku kurasakan mulai dingin dan tak jarang menolak bila kuajak berhubungan intim. Sikapnya juga mulai aneh. Beberapa kali aku menemui rumah dalam keadaan kosong karena istriku pergi dan menginap di rumah orang tuanya bersama anak-anakku. Kadang ia berada di sana selama satu minggu, meskipun aku sudah menyusulnya dan mengajaknya untuk pulang.

Singkat cerita, setelah kurang lebih satu setengah tahun kondisi seperti itu berlangsung terus menerus, istriku akhirnya meminta cerai. Aku kaget dan tak pernah menduga ia akan melakukan itu padaku.
Sulit bagiku untuk membujuk dan mengajaknya bicara secara baik-baik. Bahkan kedua orang tua kami sampai ikut campur mendamaikan. Akhirnya dengan berat hati aku harus berpisah dengan istri dan kedua anakku. Pupuslah sudah angan-anganku membentuk Keluarga yang Bahagia. Ada tiga bulan aku seperti orang linglung menghadapi cobaan itu. Aku stres berat. Bahkan sempat hampir masuk rumah sakit.

Aku mendapatkan hak untuk menempati rumah kami. Tapi anak-anak ikut istriku yang kini tinggal dengan orang tuanya. Sesekali aku menemui mereka, karena anak-anakku masih kecil dan tetap perlu figur seorang ayah. Kurang lebih setahun setelah perceraianku, aku mulai menjalin hubungan lagi dengan seorang wanita. Maryati namanya, seorang janda tanpa anak. Perkenalan kami terjadi sewaktu aku terlibat dalam sebuah kepanitiaan temu bisnis yang diadakan sebuah perusahaan terkemuka di ibu kota. Pertemuan demi pertemuan dan pembicaraan-pembicaraan di telepon akhirnya berkembang menjadi acara kencan bagi kami berdua.

Rasa kesepian yang selama ini kualami seperti mendapat obatnya. Maryati memang seorang yang wanita yang menarik dan menyenangkan bagi siapa pun laki-laki yang mengenal dia. Entah kenapa ia memilihku. Mungkin kami sama-sama berstatus cerai. Tapi ternyata ia punya alasan lain. Menurutnya ia menyukaiku karena aku orangnya kalem tapi terlihat matang, dan menurutnya lagi, wajahku ganteng dan ia suka dengan laki-laki yang berkumis sepertiku. Komentar yang terakhir itu hampir sama dengan yang pernah disampaikan oleh mantan istriku waktu kami pacaran dulu.

Sebagai laki-laki normal, terus terang di samping tertarik pada personalitasnya, aku juga tertarik secara seksual dengan Dik Mar (demikian aku biasa memanggil Maryati, sementara ia biasa memanggilku Mas Is, kependekan dari namaku, Iskandar). Selama menduda, kehidupan seksualku memang cukup menjadi suatu masalah bagiku. Karena aku bukan tipe yang bisa main dengan sembarang orang, karena aku takut dengan berbagai risiko yang nanti bisa menimpaku. Meskipun kuakui sekali dua
kali aku terpaksa melacur. Tapi jarang sekali aku melakukannya dan bisa dihitung dengan jari. Itu pun kulakukan dengan penuh perhitungan dan hati-hati. Terus terang selama ini aku lebih banyak menyalurkan hasrat seksualku dengan cara onani sambil lihat BF atau majalah porno yang kumiliki.

Maka ketika aku mengenal Maryati, dan semakin mengenalnya lebih jauh lagi, serta merasa yakin dengan siapa aku menjalin hubungan, aku tak sungkan-sungkan lagi menyatakan kesukaanku padanya. Statusnya yang janda secara psikologis membuatku lebih berani untuk berbicara dan
bersikap lebih terbuka dalam beberapa hal yang sensitif, termasuk masalah seks. Dan seperti sudah kuduga semula, Maryati meresponku dengan baik.

Kami pertama kali melakukan hubungan intim di sebuah hotel di daerah Puncak. Aku yang mengajaknya. Meskipun semula ia menolak ajakanku dengan halus, tapi akhirnya aku berhasil mengajaknya bermalam di Puncak.

Pagi itu kami berangkat dari Jakarta sekitar jam 9 pagi. Selama perjalanan kami mengobrol dan bercanda tentang berbagai hal, bahkan kadang-kadang menyerempet ke masalah-masalah yang intim, karena kami sadar bahwa kepergian kami ke Puncak memang untuk itu. Begitu tiba di dalam kamar hotel, tubuh Maryati langsung kudekap dan kuciumi ia dengan mesra. Ia membalasku dengan ciuman yang tak kalah hangatnya. Cukup lama kami berciuman dalam posisi berdiri. Senjataku pun sudah
lama berdiri sejak mulai masuk lobby hotel tadi, karena terus membayangkan kejadian yang bakal terjadi.

Dadaku terasa berdegup keras sekali. Kurasakan pula debaran jantung Maryati pada tanganku yang merayap-rayap di sekitar dadanya. Memang baru pertama kali inilah kami berbuat agak jauh. Bahkan bisa dipastikan kami akan lebih jauh lagi.

Selama ini kami hanya sebatas berciuman. Itupun baru kami lakukan sebanyak dua kali dan dalam suasana yang tidak mendukung. Yang pertama terjadi di gedung bioskop dan yang kedua waktu aku mampir ke kantornya dan sempat masuk ke ruang kerjanya. Sehingga pada kedua kesempatan itu kami tak leluasa untuk saling menjamah.

Tapi kali ini, kami bisa saling menyentuh, meremas dan melakukan apa saja dengan bebasnya. Tanganku berulang-ulang meremas gemas bongkahan pantatnya, karena bagian tubuhnya itulah yang selama ini paling kusukai tapi paling sulit kujamah. Sedangkan ia asyik menelusuri dadaku dan mengusap-usap bulu yang tumbuh lebat di sana. Barangkali bagian tubuhku itulah yang selama ini disukainya tapi sulit disentuhnya. Dia memang pernah mengomentari tentang bulu dadaku yang memang bisa terlihat jelas bila aku memakai kemeja biasa.

Siang itu kami akhirnya melakukan sesuatu yang sudah lama kami pendam. Terus terang kami melakukannya dengan terburu-buru dan cepat. Bahkan pakaian tak sempat kami buka semua. Maryati masih mengenakan rok dan blusnya. Hanya saja blusnya sudah terbuka, demikian pula dengan BH-nya, sudah terkuak dan menonjolkan isinya yang bulat padat itu. Sementara rok hitamnya sudah kutarik ke atas pinggangnya dan celana dalamnya sudah kulepas sejak dari tadi. Aku sendiri masih berpakaian lengkap, hanya beberapa kancing bajuku sudah terlepas bahkan ada yang copot direnggut oleh tangan Maryati. Sedangkan celana jeans dan celana dalamku tak sempat lagi kulepas, hanya ikat pinggang dan ritsluitingnya saja yang kubuka. Sehingga batang kemaluanku bisa langsung kujulurkan begitu saja dari celana dalamku yang juga tak sempat kulepas.

Segera Maryati kutelentangkan di atas ranjang dan aku langsung melakukan penetrasi. Tanpa ba bi bu lagi aku segera tancap gas. Menusuk sedalam-dalamnya dan mulai menggenjotnya.

Kami berdua seperti balas dendam. Segera ingin mencapai puncak. Suara erangan dan lenguhan terdengar bersahutan dengan nafas kami yang saling memburu. Kami benar-benar bermain agak liar. Mungkin karena sudah lama saling memendam birahi. Sehingga saat itu kami lebih tepat disebut sedang bermain seks daripada bermain cinta.

Akhirnya permainan kami selesaikan dengan cepat. Kami tak sempat melakukan variasi atau posisi gaya yang macam-macam. Cukup gaya konvensional saja. Yang penting kami berdua bisa mencapai puncak kenikmatan. Maka begitu Maryati sudah mendapat orgasmenya, aku langsung menggenjotnya dengan semangat dan tak lama kemudian aku pun mengerang seiring dengan muncratnya cairan kenikmatan dari batang kemaluanku dalam tubuhnya, berkali-kali.

Aku lalu merebahkan badanku memeluk tubuh Maryati dengan nafas tersengal-sengal. Ia membalasku dengan mengusap-usap rambutku dan menciumi kepalaku. Kami lalu berciuman dengan lumatnya.
"Aku mandi dulu ya Mas..." tiba-tiba Maryati melepas pagutannya dan beranjak dari posisi elentangnya.

Sebenarnya aku masih ingin berdekapan. Tapi segera kuikuti langkahnya menuju kamar mandi. Kulihat ia mulai melepas sisa pakaiannya. Aku memandangnya sambil bersandar pada pintu kamar mandi. Bibirnya terus tersenyum membalas pandanganku yang terus lekat selama ia melepas pakaiannya satu persatu. Sementara aku melongo menyaksikan striptease gratis di depanku. Sampai akhirnya ia benar-benar bertelanjang bulat.

Baru kali ini aku melihat tubuhnya dalam keadaan benar-benar polos. Selama ini aku hanya bisa membayangkan bagian-bagian tertentu dari tubuhnya. Kini aku bisa melihat semuanya. Terpampang jelas.
"Mau gabung?" katanya menggoda. Dan aku memang tergoda. Langsung kucopot pakaianku yang sebagian besar sudah setengah terbuka lalu sengaja kusisakan celana dalam saja. Aku langsung menuju ke arahnya. Lalu kembali kami berciuman. Tangannya langsung meremas-remas milikku yang sudah agak lemas dan masih terbungkus celana dalam itu. Sementara aku pun sibuk memainkan puting susunya dengan jari-jariku. Permainan seperti ini sebenarnya pernah kami lakukan. Hanya bedanya kali ini kami melakukannya dalam keadaan tubuh telanjang.

"Mas..." bisiknya di sela-sela acara saling memagut dan meremas.
"Ya, sayang?" balasku.
"Sudah kuduga, punya Mas Iskandar pasti gede."
"O ya?"
"Ya", sambil tangannya meremas kuat milikku. Aku mengerang tertahan, enak.
"Aku juga sudah menduga..." kataku sambil mengarahkan jariku ke sela-sela pahanya.
"Apa?" tanyanya.
"Punya Dik Mar pasti legit..."
"Kayak apa sih yang dibilang legit itu?"
"Ya kayak tadi", jawabku sambil menusukkan jari tengahku ke celah bibir kemaluannya. Terasa agak seret tapi lentur dan sedikit lengket. Itulah legit.

Aku mulai terangsang. Milikku pelan-pelan mengembang dan mengeras. "Masshhh..." ia mulai merintih ketika sambil tanganku bermain di bawah sana, mulutku juga mulai merambah telinga, leher dan berhenti di ujung buah dadanya yang telah mengeras. Jilatan dan isapan mulutku makin membuatnya merintih-rintih kenikmatan.

Sementara tangannya kini sudah menelusup masuk ke celana dalamku dan meremas-remas isinya dengan gemas. Membuatku makin tegang dan ingin segera menyetubuhinya lagi.

"Mau lagi?" tanyaku agak berbisik. Ia mengangguk.
"Sekarang?" tanyaku lagi. Dan ia mengangguk lagi.

Akhirnya kami melakukannya lagi di dalam kamar mandi. Bahkan kami tak sempat mandi lebih dahulu sesuai rencana semula. Tapi kali ini kami ingin bermain cinta, tidak semata-mata main seks seperti tadi. Semua berawal ketika ia melepaskan celana dalamku dan lalu memintaku untuk segera menusuknya. Segera kuangkat dan kududukkan tubuhnya di atas meja wastafel. Lalu dalam posisi berdiri aku langsung menghujamkan kejantananku ke sela-sela pahanya yang segera dibukanya lebar-lebar. Kami berdua kembali bernafsu. Bibir kami saling melumat dan tangannya langsung merangkulku erat-erat. Sementara pinggulku spontan menyentak-nyentak, mengayun dan menghujam dengan liarnya. Gerakan yang sudah lama tak kulakukan.

Kurasakan Maryati pun sepertinya sudah lama tak menikmati permainan cinta seperti ini. Kedua kakinya melilit pinggangku dengan ketatnya. Kedua tangannya terus mencakar punggungku bila dirasakannya aku menusuknya terlalu dalam. Kudengar mulutnya mendesis dan melenguh bergantian. Aku sendiri hanya bisa mendengus dan menahan agar tak keluar terlalu cepat.

"Mass Isss... Mass Isshh..." ia mulai memangil-manggil namaku. Sepertinya ia sudah mau orgasme. Maka aku terus mempergencar gerakanku. Kurengkuh kedua pantatnya dan kutekan ke depan sehingga membuat batang kemaluanku makin melesak dalam liang surganya. Berkali-kali kulakukan gerakan itu sehingga makin membuatnya meneriakkan namaku berulang-ulang. Akhirnya kurasakan badannya menggigil hebat dan mulutnya merintih panjang. Orgasmenya datang. Cukup cepat menurutku, seperti waktu kami main di ranjang tadi. Ia ternyata memang cepat panas.

Sejenak aku menghentikan gerakanku. Kubiarkan Maryati menikmati sendiri puncak birahinya. Aku mencoba membantu menambah kenikmatannya dengan cara menjepitkan jempol dan telunjukku pada kedua puting susunya dan melintirnya pelan-pelan. Bola matanya sayu menggantung, meresapi rasa nikmat yang tengah melanda sekujur tubuhnya. Tangannya mencengkeram erat bahu dan unggungku. Sementara kakinya makin kuat menjepit, sebelum akhirnya pelan-pelan mengendor. Nafasnya kini mulai satu-satu.

"Enak Dik?" tanyaku nakal.
"Enak... Mas... enak sekali..." jawabnya masih dengan nafas satu-satu.
"Mas Iskandar belum keluar?" lanjutnya sambil matanya melihat sebagian batang kemaluanku yang masih tertancap di jepitan pahanya.

"Belum dong. Ini kan ronde kedua", kataku sambil tersenyum.
Sebenarnya aku tadi juga hampir muncrat. Meskipun ronde kedua, tapi aku agak tak kuat juga menahan laju birahiku yang sudah lama tak tersalurkan. Tapi untuk permainan kali ini aku berusaha menahan sekuatnya. Karena ini benar-benar pengalaman pertamaku bermain cinta dengannya, harus sip. Pelan-pelan pinggulku mulai kugoyang lagi. Kutatap matanya lekat-lekat sambil terus kugerakkan pinggul dan pantatku maju mundur. Ia kembali tersenyum merasakan gerakanku yang sengaja kubuat pelan tapi mantap. Diaturnya posisinya sehingga aku bisa melakukan tusukan lebih dalam.

Kembali kami berdua bekerja sama mencapai puncak kenikmatan. Kukocok-kocokkan terus batang kemaluanku dalam liang senggamanya. Sementara bibirku sibuk menelusuri telinga dan lehernya dengan ganas. Ia sampai menggelinjang ke sana ke mari karena kegelian. Punggungnya lalu terasa menegang ketika mulutku mampir ke buah dadanya dan mulai bermain-main di situ. Putingnya yang coklat dan menonjol besar itu kini menjadi bulan-bulanan lidah dan bibirku. Kubuat beberapa cupang
merah di gundukan kedua bukit dadanya. Mulutnya memintaku untuk terus menyedot susunya. Dan aku melakukannya dengan senang hati.

Pertahananku akhirnya bobol ketika secara pelan-pelan kurasakan batang kemaluanku terasa dijepit oleh dinding yang makin menjepit dan berdenyut-denyut. Beberapa saat kunikmati sensasi itu. Sensasi yang sudah lama tak pernah kurasakan. Tampaknya Maryati hampir mendapatkan orgasmenya yang kedua. Maka dengan perlahan-lahan penuh konsentrasi aku mulai mengayun pinggulku, mengayun dan terus mengayun, dan akhirnya menjadi gerakan menyentak-nyentak yang makin lama makin
kuat. Membuat tubuh Maryati terlonjak-lonjak. Beberapa kali kutekan pantatku kuat-kuat ke depan. Menusuk dan mengocok. Dan pada tusukan yang kesekian, mulailah muncul rasa geli yang berdesir-desir pada pangkal kemaluanku. Makin lama desiran itu makin kuat, makin geli, makin enak, makin nikmat.

Akhirnya aku tak kuat lagi menahan desakan cairan yang terasa mengalir dari kemaluanku yang kemudian meluncur sepanjang batang kemaluanku sampai akhirnya menyemprot kuat berkali-kali dari lubang kecil di ujung kepala kemaluanku. Cairan kental hangat itu makin melicinkan dinding liat milik Maryati sehingga memudahkan gerakan-gerakan yang mengiringi ejakulasiku. Dan gerakan-gerakan yang kubuat ternyata telah memicu kembali puncak birahi Maryati. Akhirnya yang terdengar adalah erangan kami berdua, saling bersahutan. Lalu diam. Tinggal suara dengusan nafas kami yang tersengal-sengal.

Kami tadi tak sempat mandi sesuai rencana semula, tapi tubuh kami kini benar-benar telah basah karena keringat. Berdua kami berpelukan meresapi rasa nikmat yang sudah lama tak kami rasakan.

Aku mau mencabut milikku, tapi dengan gaya manja Maryati melarangku. Ia lalu malah menciumku dan memintaku untuk menggendongnya ke arah shower. Dililitkannya kedua kakinya pada pinggangku lalu dengan batang kemaluan masih terselip di selangkangannya, kugendong tubuhnya menuju shower. Selanjutnya kami pun mandi bersama. Malam harinya kami mengulang kembali kejadian siang itu dengan permainan yang lebih bergairah.

Begitulah pengalaman pertamaku dengan Maryati. Pengalaman pertamaku bermain cinta yang sebenarnya dengan seorang wanita yang kusukai sejak aku menduda setahun yang lalu. Hari-hari selanjutnya aku dan Maryati sudah bagaikan suami isteri yang sah saja. Tak jarang ia menginap di rumahku atau sebaliknya. Hubungan kami sangat hangat dan mesra. Bahkan menurutku lebih mesra dibandingkan dengan mantan istriku yang dulu (sebenarnya aku tak ingin membuat perbandingan,
tapi itu sulit kuhindari dan memang demikianlah kenyataannya) .

Waktu pertama kali kenal dengan Maryati, aku tak pernah mempunyai pikiran untuk menjadi orang terdekatnya. Terus terang aku memang menyukainya, tapi hanya berani sebatas mengaguminya saja. Apalagi waktu itu aku dengar ia sedang menjalin hubungan dengan manajer sebuah perusahaan asing, seorang ekspatriat. Jadi kupikir ia punya selera bule dan aku merasa tidak masuk dalam hitungannya.

Sampai suatu ketika, pada suatu malam, sehabis kami bertemu dalam sebuah acara dinner party, ia memintaku untuk mengantarnya pulang. Kebetulan saat itu ia tidak bawa mobil karena sedang masuk bengkel. Sebagai teman, dan juga sebagai lelaki, aku tentu saja tak bisa menolak permintaannya.

Selama perjalanan menuju rumahnya, kami mengobrol kesana kemari. Saat masih berada di mobil, entah dalam konteks apa kami bicara, tiba-tiba kami terlibat dalam obrolan yang akhirnya kelak mengarah pada sebuah hubungan yang makin akrab.

"Apakah Mas Is nggak pernah merasa kesepian?" itu pertanyaan pribadinya yang pertama kuingat. Pandangannya tetap lurus ke depan kaca mobil.
"Yah, namanya juga sendiri", aku menjawab sekenanya, setelah sebelumnya agak gelagapan menerima pertanyaan yang agak sensitif itu.
"Memang kenapa?" aku mulai berani memancing.
"Ya tidak apa-apa, cuma nanya saja kok. Nggak boleh?"
"Boleh..."

Beberapa menit kemudian kami saling terdiam.
"Dik Mar sendiri bagaimana?"
"Ya, sama..."
"Sama bagaimana?"
"Ya sama. Kadang-kadang merasa sepi juga..."
"Lho, katanya sedang dekat sama Mister..."
"Kata siapa?" katanya memotong seolah memprotes omonganku.
"Ya, saya hanya dengar-dengar saja."
"Gosip itu Mas!"
"Bener juga nggak pa-pa kok."
"Mas Is percaya?" Aku diam saja.
"Saya percaya. Karena orang seperti Dik Mar pasti banyak yang suka dan mudah kalau mau cari teman."
"Kalau asal cari teman sih memang gampang. Tapi yang cocok? Sulit!"
"Masak nggak ada satu pun yang cocok? Memang cari yang seperti apa?", pancingku mesra.
Maryati tertawa dan menyahut cepat, "Yang seperti Mas Iskandar!"

Aku tertawa meski agak terkejut juga dan sedikit GR dengan ucapannya. Tapi aku lalu menganggap dia hanya bercanda dan aku pun lalu menanggapi dengan bercanda juga.
"Wah, saya sih jauh kalau dibandingkan sama Mister..."
"Tuh kan! Dibilang itu cuma gosip, nggak percaya!" ia memotong kalimatku.
"Iya deh, percaya..."
"Lagi pula, dia bukan tipe saya", nadanya agak menurun.
"Saya lebih suka tipe laki-laki yang kalem, tenang... tapi macho... seperti Mas Is..."

Kali ini aku tidak lagi menganggap dia sedang bercanda. Karena ia mengucapkan kalimat itu dengan nada yang terjaga dan kemudian menoleh ke arahku sambil tersenyum. Aku jadi nervous. Aku ikut tersenyum dan spontan menghela nafas. Aku menoleh ke arahnya dan ia masih tersenyum tapi kini wajahnya agak tertunduk.

"Dik..." aku mencoba memanggilnya, seolah ingin mendapat penegasan.
"Ya, Mas..." ia menjawab dan menatap ke arahku, lalu tersenyum. Dari sikap dan ekspresi wajahnya, aku berusaha meyakinkan diriku sendiri sebelum akhirnya kuberanikan diri untuk menggenggam tangannya. Dan ia diam saja. Bahkan kemudian membalas remasan tanganku.

Itulah peristiwa yang mengukuhkan hubunganku dengan Maryati. Malam itu aku hanya mengantarnya sampai depan pintu pagar saja. Menjabat tangannya. Tak lebih dari itu. Tapi aku bahagia. Dan aku yakin ia juga bahagia.

Ketika sampai di rumah, aku langsung menelponnya. Ada kurang lebih satu jam lamanya kami ngobrol, saling mengungkapkan perasaan kami berdua selama ini. Selanjutnya kami rajin saling menelepon dan mengadakan pertemuan demi pertemuan, mulai dari makan siang, belanja, nonton atau jalan-jalan.

Aku pertama kali menciumnya waktu berada di bioskop. Tapi suasana waktu itu kurang mendukung untuk bercumbu secara total. Karena kami dalam posisi duduk berjejer, maka kami hanya bisa saling meraba, menyentuh dan sesekali berciuman. Bila aku memegang atau menyentuh bagian tertentu tubuhnya, ia akan diam saja. Demikian sebaliknya. Beberapa kali kami sempat berciuman, meski tak sempat lama. Tapi kami cukup menikmati kencan di bioskop saat itu. Bahkan tanganku sempat menelusup masuk ke celah roknya tapi hanya bisa mengelus-elus pahanya saja, karena saat itu rok yang dikenakan Maryati agak panjang. Sementara tangan Maryati relatif lebih bebas menyentuhku. Tapi ia benar-benar hanya menyentuh saja, meski sesekali memberi pijitan pada bagian depan celanaku yang menonjol karena isinya sedang menegang. Aku sebenarnya mengharap ia melakukannya lebih dari itu. Tapi lagi-lagi, suasana bioskop saat itu tak terlalu mendukung.

Baru pada kesempatan kedua kami sempat bercumbu cukup panas. Kesempatannya terjadi waktu aku berkunjung ke kantornya dan masuk ke ruangan kerjanya. Ketika itu ia minta ijin sebentar untuk ke toilet pribadinya, aku segera menyusulnya dan kami lalu berciuman di lorong menuju ke arah toilet itu.

Kami lalu berciuman dengan penuh gairah. Saat itulah pertama kali aku benar-benar bisa merasakan kehangatan dan kelembutan bibirnya. Sudah lama kami tak melakukan percumbuan seperti ini. Sehingga nafas kami terdengar memburu dan kami berciuman dengan lahapnya. Dan karena suasananya agak mendukung, aku pun berani menjamah bagian-bagian tubuhnya yang sensitif terutama dada dan pantatnya yang selama ini hanya bisa kupandang. Maryati pun juga mulai berani meremas milikku yang sudah mengeras dari balik celana pantalon yang kukenakan. Aku lalu membalasnya dengan menekankan telapak tanganku ke celah pahanya yang tertutup rok kantor dan meremas bagian yang ada di sana. Meski begitu, kami tetap tak bisa leluasa untuk melakukan hal-hal yang lebih jauh. Karena bisa saja sewaktu-waktu ada karyawan yang akan masuk sementara kami dalam keadaan kusut masai. Jadi kami tetap harus menjaga semua ini. Tapi setidak-tidaknya kami bisa saling meluapkan kerinduan kami dengan bercumbu sambil saling menyentuh.

Pada pertemuan di kantor itulah aku mencoba mengajaknya untuk suatu saat berkencan lebih jauh di suatu tempat yang lebih leluasa untuk melakukannya. Maryati tidak mengiyakan atau menolak ajakanku. Ia hanya menunjukkan sikap dan jawaban yang tampaknya masih hati-hati dan perlu waktu untuk memikirkannya. Dan aku menghargai sikapnya itu. Sampai akhirnya aku berhasil membawanya pergi ke Puncak sebagaimana telah kuceritakan pada bagian pertama.

Kini hubungan kami sudah semakin dekat. Kencan lebih banyak kami lakukan di luar rumah. Karena bagaimana pun, status kami sebagai sebagai duda dan janda sedikit banyak pasti mendapat sorotan
tersendiri di lingkungan kami masing-masing. Jadi aku dan Maryati harus bisa menjaga hubungan ini agar tak terlalu menyolok. Untuk itu aku lebih senang kalau Maryati saja yang bertandang ke rumahku,
daripada aku yang harus ke rumahnya. Hal ini untuk menjaga kesan bagi diri Maryati sebagai seorang janda, di samping karena lingkunganku juga relatif lebih aman. Beberapa kali ia sempat menginap di rumahku. Sementara aku baru dua kali menginap di rumahnya.

Pertama kali Maryati kuajak ke rumahku adalah sehabis aku mengantarnya jalan-jalan membeli arloji, kira-kira seminggu setelah kejadian di Puncak. Berhubung waktu pulang hujan cukup lebat, aku harus mengambil jalan memutar yang cukup jauh menuju rumahnya untuk menghindari wilayah yang biasanya banjir. Kebetulan jalan yang harus kuambil melewati jalan menuju kompleks rumahku. Maka daripada tanggung, aku menyarankan Maryati untuk mampir sebentar.

"Lama juga nggak pa-pa" katanya menggoda.
"Jangan ah... Takut!" sahutku gantian menggodanya.
"Takut apa?"
"Takut tidak terjadi apa-apa... ha.. ha.. ha.."
"Iiihh... dasar!" sambil tangannya mencubit pahaku. Aku berteriak, meskipun cubitannya tidak sakit.
"Cubit yang lainnya dong..." aku menggodanya lagi.
"Maunya!"

Tapi tangannya kemudian terulur ke arah selangkanganku dan mulai menarik retsleting celana jeans-ku ke bawah. Masih dalam posisi menyetir, aku segera mengatur posisi dudukku agar ia bisa leluasa
membuka celanaku. Dalam sekejap milikku sudah terjulur keluar dari celah atas celana dalamku. Milikku mulai membesar tapi belum tegang.

Tangan kanan Maryati lalu mulai beraksi meremas dan memijit-mijit. Maka segera pula otot pejal kebanggaanku itu mulai bangun berdiri. Aku berusaha berkonsentrasi dengan setir mobil. Apalagi di luar sana hujan makin lebat. Wiper yang bergerak-gerak seperti tak mampu menahan air hujan yang turun meleleh di kaca depan. Sebagaimana aku tak dapat menahan rasa geli yang mulai muncul ketika tangan Maryati pelan-pelan mulai mengocok. Batangku dijepitnya hanya dengan menggunakan jempol dan jari tengahnya. Lalu dengan cara seperti itu ia membuat gerakan memijit dan mengocok bergantian.

"Digenggam dong..." kataku menuntut.
"Tadi katanya minta dicubit", jawabnya sambil melakukan gerakan mencubit pelan pada pangkal kemaluanku yang kini sudah mengeras. Membuatku menggelinjang.

Aku tersenyum mendengar jawabannya. Ya sudah, aku nikmati saja apa yang dilakukan. Bahkan aku kemudian menjulurkan tangan kiriku ke arah buah dadanya yang terbungkus blus tanpa kancing, sementara tangan kananku tetap memegang kemudi. Kurasakan buah dadanya sudah mengeras
kencang. Aku makin bernafsu meremasnya. Maka mulailah acara saling meremas dan memijit, di dalam mobil, di tengah hujan deras.

Tampaknya Maryati mulai terangsang dengan gerayangan tanganku pada buah dadanya. Ia memintaku untuk melakukannya di bagian tubuhnya yang lain, ketika tangannya tiba-tiba menuntun jariku menuju ke sela-sela pahanya yang sengaja dibukanya agak lebar. Roknya sudah ia tarik ke
atas sebatas pinggul. Maka jari-jari tangan kiriku pun segera beraksi di bagian depan celana dalamnya yang menyembul hangat dan sudah mulai lembab itu.

Pandanganku tetap harus ke depan, ke arah jalan yang mulai masuk ke kompleks rumahku. Sedangkan Maryati bisa dengan enaknya menggeliat-geliat sambil mendongakkan kepalanya menikmati gelitikan jariku pada bagian luar CD-nya tepat di bagian celah kemaluannya. Sementara
tangan kanannya kini tak lagi memijit-mijit, tapi sudah menggenggam batang kemaluanku yang makin meradang karena terus dikocok-kocok olehnya.

Aku menarik tanganku dari sela paha Maryati ketika mobil sudah mulai masuk ke jalan menuju rumahku. Maryati sempat mendesah ketika aku menghentikan aksiku.
"Sudah sampai..." kataku memberi alasan sekaligus mengingatkan dia.

Ia segera membenahi pakaiannya dan kemudian gantian membereskan celanaku yang sudah setengah terbuka. Kemaluanku yang belum sepenuhnya lemas, agak sulit untuk dibungkus kembali.
"Bandel nih!" gerutu Maryati.
"Gede sih... hehehe..." aku tertawa melihatnya kesulitan memasukkan batang kemaluanku kembali ke celana.
"Sudah biarin, nanti juga kan dikeluarin", lanjutku.

Maryati lalu kusuruh turun duluan menuju teras. Aku kemudian memasukkan mobil ke garasi, membetulkan celanaku dan kemudian bergegas keluar garasi menuju teras menyusul Maryati yang rambut dan pakaiannya terlihat agak basah oleh air hujan.

Kami lalu segera masuk ke dalam rumah. Inilah pertama kali Maryati berkunjung ke kediamanku. Ia agak sedikit canggung dan terlihat kurang nyaman ketika berada di ruang tamu. Apalagi kondisi tubuhnya agak basah oleh air hujan. Blusnya yang basah menampakkan bagian gumpalan dadanya yang sedikit menyembul dari BH yang dikenakannya. Aku kembali terangsang melihat pemandangan itu. Segera kupeluk tubuhnya dan kami pun lalu tenggelam dalam ciuman yang bergelora.

Birahi kami memanas kembali. Ciuman pun berkembang menjadi acara saling meremas. Saling menekan. Saling merangsang. Kami berdua lalu membantu melepaskan pakaian satu sama lain dan membiarkannya terserak di lantai ruang tamu. Tubuh telanjang kami pun menempel makin lekat.
"Di sini saja..." katanya ketika aku akan menariknya untuk masuk ke kamar tidur.

Kami kemudian memilih sofa ruang tamu sebagai tempat main. Di luar hujan masih turun dengan derasnya. Suara tempaan airnya menyamarkan desahan dan lenguhan yang keluar dari mulut kami berdua. Tubuh bugil kami bergelut dengan penuh gairah di atas sofa tamu itu.

Beberapa saat kemudian Maryati meminta ijinku untuk melakukan oral seks. Tentu saja kuijinkan. Ia memang senang dengan milikku yang katanya punyaku ukuran besar terutama di bagian kepalanya. Sehingga ia senang sekali melumat dan mengisap bagian kepala kemaluanku yang kini terlihat bulat membonggol dan tampak licin mengkilat akibat lumuran ludahnya.

Selama ia melakukan permainan mulut, aku berusaha mengimbanginya dengan merangsang bibir kemaluannya dengan jariku. Saat itu posisiku setengah rebahan dan menyandarkan kepalaku pada sandaran sofa. Sedangkan Maryati berbaring miring setengah telungkup di samping pinggangku. Ia menggeliat ketika jari tengahku mulai menerobos masuk ke celah miliknya, sementara jempolku bermain-main pada klitorisnya.

"Ouu..." jeritnya tertahan.
"Kenapa? enak?" tanyaku sambil menusukkan jari tengahku lebih dalam dan memutar lebih keras jempolku pada tonjolan kecil di atas bibir kemaluannya. Kembali mulutnya bersuara, tapi kali ini lebih riuh dan lebih mirip desisan. Sejenak mulutnya terlepas dari batang kemaluanku. Tapi sesaat kemudian ia menunduk kembali dan melumat habis pisang ambonku hampir ke pangkalnya dan mengisapnya sedemikian rupa sampai aku merinding kegelian. Pantatku sempat tersentak-sentak karena kenikmatan.

"Kenapa? enak ya?" katanya sambil melirikku, lalu melanjutkan kulumannya kembali. Sepertinya Maryati ingin membalas atau mungkin ingin mengimbangi perbuatanku tadi.

Selanjutnya kami tak sempat bicara sepatah kata pun karena terlalu serius untuk saling melakukan dan menikmati rangsangan. Mataku terpejam mencoba menikmati setiap hisapan mulut Maryati, sementara
jari-jari tangan kananku terus asyik bermain-main di sekitar liang kewanitaannya.

Berbeda dengan milikku, rambut yang tumbuh di sekitar kemaluan Maryati tak terlalu lebat, tapi tumbuhnya lebih halus dan rapi. Dan aku suka sekali mengusap-usapnya. Sedangkan rambut kemaluanku tentu saja lebih kasar dan lebat tumbuhnya hingga ke arah pusar, perut dan dada. Maryati juga suka mengusap-usap bulu-bulu yang tumbuh di sekitar tubuhku itu. Katanya, dengan kondisi seperti itu, aku seperti nyomet, demikian ia memplesetkan istilah monyet.

Siang itu akhirnya kami melakukannya sampai dua kali. Ronde pertama diawali ketika Maryati mulai bangkit dari posisi tengkurapnya, lalu mulai mengangkangi pinggulku, dan kemudian menelusupkan batang kejantananku yang sudah tegang keras itu ke sela-sela pahanya. Dengan posisi antara duduk dan bersandar, aku mencoba membantunya dengan sedikit mengangkat pantatku ke atas. Maka sedikit demi sedikit amblaslah kepala kemaluanku ditelan mulut kecil yang ada di selangkangannya. Terasa sekali liang ketat namun lembut menjepit sepanjang batang kemaluanku. Rasanya hangat, lembut dan agak-agak terasa kesat.

Kenikmatan semakin terasa ketika kepala kemaluanku yang sensitif itu menyentuh ujung dinding kemaluan Maryati. Sejenak Maryati memutar-mutar pinggulnya seolah merayakan pertemuan total itu. Secara spontan kami berdua serempak memperdengarkan rintihan kenikmatan.

Maryati pun tampaknya meresapi jejalan batang dan gesekan urat yang ada di sekujur kemaluanku. Mulutnya mendesis-desis seperti orang kepedasan. Beberapa kali jarinya berusaha menyentuh bagian luar bibir kewanitaannya seperti mau menggaruk seolah kegelian.

Maryati kemudian mengatur posisi berlututnya sedemikian rupa dan beberapa saat kemudian ia mulai menggenjot tubuhnya naik turun. Makin lama genjotannya makin cepat, sehingga membuat buah dadanya tampak berayun-ayun di depan wajahku. Mulutku segera menangkap putingnya yang sudah mengeras itu dan segera melumatnya habis. Ia menjerit tertahan. Tapi aku tak mempedulikan dan bahkan makin asyik mengulum kedua bukit padatnya itu bergantian. Sementara di bawah sana
pinggulku terus menyentak-nyentak mengimbangi genjotannya di atas tubuhku. Terasa sekali rasa nikmat menjalar di sekitar pangkal dan sekujur batang kemaluanku.

Suara hujan di halaman depan makin membuatku bergairah. Entah sudah berapa lama kami dalam posisi seperti ini. Kami hanya bisa saling memperdengarkan rintihan dan desah kenikmatan. Tubuh Maryati pun terus meliuk dan menggeliat-geliat di atas tubuhku. Kedua pahanya yang sejak tadi mengangkang dan bertumpu di jok sofa, mulai kuelus-elus. Dan ia menyukainya karena lenguh kenikmatannya makin kerap terdengar. Elusanku lalu bergeser ke bukit pantatnya. Tapi kini aku
tak lagi mengelus. Tanganku lebih sering meremas di bagian itu. Membuat Maryati makin menggelinjang.

Kami mengakhiri permainan ketika Maryati mulai menunjukkan tanda-tanda akan mencapai puncak birahi. Aku segera mempergencar tusukan dan hentakanku dari bawah. Kedua tangannya sudah memeluk kepalaku sehingga membuat wajahku terbenam di belahan dadanya. Kedua kakinya
kini menjepit erat pinggangku. Sementara posisi bersandarku sudah agak melorot ke bawah. Beberapa menit kami masih sempat bertahan dalam posisi itu sambil terus berpacu menuju puncak kenikmatan.

"Mass... Massshhh... Mass Isshh..."
"Dik Maaarrhh... ooohhh... Dik..."
Kami saling memanggil nama masing-masing. Entah apa maksudnya. Barangkali untuk menyatakan kemesraan, atau untuk mencoba menahan rasa nikmat yang mulai sulit kami kendalikan.

Ketika nada jeritan Maryati mulai terdengar agak keras, aku segera mengangkat tubuhnya, membalikkan dan membaringkannya ke badan sofa. Kini dalam posisi aku berada di atas, kugenjot tubuhnya habis-habisan sampai kami berdua akhirnya mencapai orgasme hampir bersamaan.

Aku mengerang-ngerang ketika kurasakan air maniku mulai menyembur. Ada sekitar empat kali aku menembakkan air maniku. Alirannya terasa sepanjang batang kemaluanku. Rasanya berdesir-desir nikmat. Maryati pun kulihat menikmati puncak birahinya. Wajahnya memerah dan matanya terpejam. Sementara tubuhnya sesekali bergetar menahan rasa geli yang menjalar di seluruh tubuhnya. Aku segera melumat bibirnya dan kami pun melengkapi puncak kenikmatan ini dengan ciuman yang dalam dan lama. Sesekali tubuh kami tersengal oleh sisa-sisa letupan kenikmatan yang belum sepenuhnya reda.

Suara riuh hujan tak terdengar lagi. Hanya bunyi tetes-tetes air yang berdentang-dentang menimpa atap seng. Entah sejak kapan hujan mulai reda. Kami terlalu sibuk untuk memperhatikannya. Kami masih berbaring di atas sofa. Maryati berbaring di atas tubuhku yang telentang. Tanganku mengusap-usap punggungnya yang masih bergerak-gerak halus seiring nafasnya. Sementara tangannya bermain-main di sekitar bulu dada dan perutku yang masih basah oleh keringat.

"Tidur di sini ya..." kataku membujuknya.
"Tidur di sini? Di sofa ini?" tanyanya.
"Bukan. Maksudku Dik Mar malam ini nginep di rumahku", jelasku.
"Oo... Boleh... Tapi hadiahnya apa?" sahutnya mulai manja.
"Hadiahnya?" tanyaku bingung. Aku terdiam sejenak, dan kemudian kuraih tangannya lalu kuarahkan ke batang kemaluanku yang sudah mulai melemas, "Niiih... hadiahnya!"

Ia tergelak dan kami lalu tertawa bersama. Tangannya kemudian meremas milikku. Meremas dan terus meremas. Selanjutnya kami pun akhirnya kembali bergelut di atas sofa itu, mempersiapkan permainan
berikutnya. Tapi untuk ronde kedua ini kami akan menyelesaikannya di kamar tidur.

Setelah puas melakukan pemanasan di atas sofa di ruang tamu, kami lantas beranjak masuk ke kamar tidurku. Inilah pertama kali Maryati masuk ke sini. Sebenarnya sudah lama aku ingin mengajaknya masuk ke ruangan ini. Tapi baru pada kesempatan inilah keinginanku kesampaian. Bahkan aku tidak hanya kesampaian membawanya masuk, tapi sebentar lagi aku juga kesampaian untuk menidurinya di atas kasur yang selama menduda ini hanya kupakai tidur sendirian.

Begitu pintu kamar tertutup, Maryati langsung memelukku dan kami berciuman dengan mesranya. Kulit tubuh kami yang sudah polos telanjang itu seolah telah menjadi konduktor yang saling mengirimkan
panas birahi yang terus menggelegak. Batang kemaluanku yang tegang berat itu menempel ketat tepat di atas belahan kemaluannya mengacung ke arah pusarnya. Dengan posisi demikian kantong zakarku langsung bergesekan dengan rambut kemaluannya. Rasanya geli. Apalagi Maryati terus menggesek-gesekkan bagian itu selama kami berciuman. Ia tampak kesenangan menikmati permainan ini.

Tapi Maryati paling senang ketika aku memeluknya dari belakang. Tak henti-hentinya ia menggoyang-goyangkan pantatnya pada batang kemaluanku, dan aku mengimbanginya dengan meremasi buah dadanya dari belakang sambil terus menciumi daerah telinga, leher dan bibirnya dari arah samping. Bercumbu dengan posisi begini memang mengasyikan. Batang kejantananku seperti meluncur-luncur di sela-sela garis pantatnya. Rasanya lembut dan geli. Bagai dielus-elus dengan kain beludru.

"Mass..." desahnya sambil membalikkan badannya dan kemudian melingkarkan tangannya ke leherku.
"Apa..?" kucengkeram kedua pinggulnya yang padat bulat itu.
"Siapa saja yang sudah pernah tidur di sini?" tanyanya mulai menggodaku. Aku agak heran dengan pertanyaannya yang rada menyelidik itu.
"Nggak ada", jawabku pendek.
"Masak sih, nggak ada?"
"Iya..." aku berusaha meyakinkannya.
"Lha, istri Mas Is dulu tidur di mana?"
"Oo itu.... Ya, kalau dulu sih ini memang tempat tidur kami berdua.
Tapi sejak pisah, ya nggak ada orang lain lagi yang pernah tidur di
sini selain aku sendiri.."
"Beneeer...? " nadanya mulai meledek.
"Sumpah.." balasku manja.
"Terus, kalau Mas Is lagi kepingin, mainnya di mana dong?"
"Kepingin apa?" tanyaku pura-pura bodoh.
"Ya, kepingin begituan..."
"Kalau lagi kepingin... ya kadang-kadang mainnya di sini..."
"Lho? tadi katanya nggak ada orang lain yang tidur di sini selain istri Mas Is..."

Aku tertawa pendek menyadari kebingungan Maryati.
"Kalau mau main, memangnya harus ada orang lain?" kataku kemudian.
"Maksudnya?" ia makin kebingungan.
"Emangnya nggak bisa main sendiri...?"
"Idiih... maksudnya... ?" Maryati tak meneruskan kalimatnya, tapi matanya menatapku lucu dan tangannya lalu menggenggam milikku dan mengocok-ngocoknya. Seolah ingin memastikan bahwa perbuatan seperti itulah yang aku maksudkan dengan main sendiri, alias onani.

Aku mengangguk membenarkan maksudnya. Ia tertawa.
"Kok ketawa?" kataku sambil mendekap tubuhnya dengan gemas.
"Nggak kebayang deh..." jawabnya sambil masih cekikikan.
"Ya jangan dibayangin dong."
"Kalau nggak boleh ngebayangin, boleh dong saya lihat Mas Is melakukan itu."
"Hah?" kataku kaget.
Kini gantian aku yang tertawa mendengar permintaannya yang tidak biasa itu.

Selama ini, sejak pisah dengan istriku, pemenuhan kebutuhan seksualku memang lebih banyak kulakukan dengan cara onani saja, karena aku termasuk konservatif, nggak bisa main sembarangan, hati-hati dan penuh perhitungan. Melakukan onani bagiku lebih save dan cukup memuaskan. Hampir semua laki-laki pasti pernah melakukan seks swalayan itu. Dulu waktu masih remaja aku juga sering melakukannya dan mendapatkan kepuasan dari situ. Bahkan ketika sudah menikah pun aku kadang-kadang juga masih melakukannya, terutama bila istriku dulu sedang berhalangan. Aku bisa minta dia membantuku beronani atau aku melakukannya sendiri tanpa dia. Apalagi setelah kami cerai, acara
ngocok bisa kulakukan seminggu sekali, bahkan lebih kalau nafsuku lagi kencang-kencangnya.

Biasanya aku melakukannya menjelang tidur atau saat bangun tidur. Sudah alamiah, punya laki-laki kalau saat bangun tidur pagi hari biasanya dalam kondisi sedang ereksi. Kalau kebetulan saat itu
volatage-ku juga sedang tinggi-tingginya, biasanya langsung kusalurkan dengan cara mengocok. Aku bisa melakukannya di atas tempat tidur atau di kamar mandi waktu mandi pagi.

Kalau aku melakukannya menjelang tidur, biasanya sambil melihat
majalah atau film porno koleksiku atau hasil pinjaman. Tapi kalau
melakukannya ketika bangun tidur atau di kamar mandi, aku cukup
dengan berkhayal saja. Selama ini aku lebih banyak melakukan onani
dengan tangan kering, karena keluarnya bisa agak lama. Tapi untuk
sensasi, kadang-kadang aku pakai baby oil atau sabun kalau pas
melakukannya di kamar mandi. Saya rasa yang terakhir itu (nyabun)
biasa dilakukan oleh laki-laki. Tentunya dilakukan dengan sembunyi-
sembunyi. Dan kamar mandi memang tempat yang paling populer untuk
beronani ria. Karena tempatnya aman, tertutup dan bisa telanjang
dengan bebas, sehingga tak perlu takut dicurigai atau diketahui orang
lain.

Tapi kini, ada seorang wanita yang ingin menontonku melakukan onani
di hadapannya. Gila! Aku sampai tertawa menanggapi permintaan Maryati
yang nyeleneh itu. Tapi aku menghentikan tawaku begitu menyadari
bahwa Maryati tampaknya serius memintaku melakukan itu.

"Oke", kataku akhirnya, "Tapi janji, Dik Mar juga harus ikut
melakukan itu di depan saya..."
"Nggak ah!" sergahnya cepat.
"Kenapa? Memang nggak pernah...?"
"Ihh... pakai nanya lagi!" katanya sambil mencubitku.

Segera kutangkap tangannya, kupeluk tubuhnya dan kami lalu kembali
tenggelam dalam ciuman yang mesra dan bergairah. Sejenak kemudian aku
melepas pelukanku dan membimbing tubuhnya berbaring di atas ranjang.
Aku sendiri kemudian berbalik berjalan menuju kursi dekat meja kecil
di seberang tempat tidur, dan duduk santai di atasnya.

"Dik..." kataku memberi isyarat pada Maryati yang tergolek di atas
kasur di depanku. Aku kemudian memancing dia dengan mulai meremas-
remas milikku sendiri yang sudah tegang itu. Beberapa saat kemudian
Maryati pun mulai mengikuti perbuatanku. Jari-jarinya mulai terarah
menuju selangkangannya, mulai menggelitik dan mengusap-usap miliknya
sendiri. Maka dimulailah pertunjukan seks swalayan. Kami berdua
saling berpandangan dan saling mengamati perbuatan satu sama lain.
Tubuh Maryati tampak telentang miring bersandar pada salah satu
sikunya. Posisi tubuhnya menghadap ke arahku. Sehingga aku bisa
dengan leluasa melihat semua gerakan masturbasinya.

Posisi dudukku sendiri sudah tidak tegak lagi, tapi sudah setengah
bersandar. Kedua paha dan kakiku selonjor ke depan dan sengaja kubuka
lebar-lebar. Aku memainkan milikku dengan gerakan bervariasi, mulai
dari meremas, mengurut, memijat sampai gerakan mengocok. Sesekali aku
juga merangsang buah pelirku dengan cara mengusap-usap dan meremas-
remasnya. Seolah-olah aku ingin menunjukkan pada Maryati semua
gerakan onani yang biasa kulakukan selama ini.

Kami berdua mulai saling terangsang oleh perbuatan kami masing-
masing. Kalau selama ini aku beronani sambil nonton BF atau lihat
gambar porno sambil mengkhayal hal-hal yang merangsang, maka kini aku
melakukannya dengan bantuan obyek dan kejadian yang lebih nyata. Aku
sampai kesulitan menahan keinginanku untuk tidak menyetubuhi Maryati
karena sangat terangsang melihat segala gerakannya selama
bermasturbasi itu. Semua begitu nyata dan merangsang. Aku yakin
Maryati pun merasakan hal yang sama selama melihat secara langsung
seorang laki-laki beronani di hadapannya. Matanya kulihat mulai sayu
tapi terus mengamati gerakan-gerakan tangan yang kubuat terhadap
kemaluanku sendiri.

Aku hampir mencapai puncak, ketika kudengar mulut Maryati mulai
merintih-rintih sambil menatapku dengan wajah seperti orang ingin
menangis. Jari manis dan jari tengahnya tampak bergerak cepat
mengusap dan menekan-nekan bagian atas bibir kemaluannya khususnya di
bagian klitorisnya. Ia mulai memanggil-manggil namaku dan tubuhnya
mulai mengejang. Punggungnya kemudian melengkung dan kedua pahanya
merapat menjepit tangannya sendiri yang terselip di selangkangannya.

Aku semakin terangsang melihat pemandangan nyata di depanku. Desiran-
desiran mulai kurasakan pada pangkal kemaluanku sendiri. Dan aku
semakin memperkuat kocokan tanganku sendiri sampai menimbulkan
sedikit bunyi yang diakibatkan oleh bercampurnya keringat di telapak
tanganku dan cairan bening yang mulai keluar dan meleleh dari lubang
kecil di ujung kemaluanku.

Tapi akhirnya aku tak tahan lagi begitu mendengar Maryati berteriak
memekik. Dan aku segera loncat dari kursi dan menghambur ke arahnya.
Aku sudah tak tahan lagi dengan semua ini. Segera kubuka pahanya yang
masih merapat itu dan tanpa ba bi bu kutusukkan batang kemaluanku ke
lubang yang sudah basah oleh cairan birahi itu. Maryati terpekik
ketika seluruh kejantananku dengan cepat dapat menerobos dan menyelip
masuk. Kurasakan di dalam sana milikku berdenyut-denyut oleh
konstraksi dindingnya, menimbulkan rasa geli yang sangat nikmat.
Rupanya orgasme Maryati datang bersamaan dengan hujaman rudalku.

Sejenak aku diam menikmati pengaruh orgasme di tubuh Maryati pada
batang kemaluanku. Lalu pelan-pelan aku mulai menggoyang dan mengayun
pinggulku. Pelan dan pelan. Berputar dan mengulir. Sesekali
menyentak. Kunikmati sekali persetubuhan ini, sampai akhirnya aku
mulai melakukan gerakan memompa dan menusuk-nusuk.

Maryati tampak mulai menikmati genjotanku. Ia menggeliat-geliat
sambil melenguh dan sesekali tersenyum dengan mata terpejam. Seolah
meresapi segala gerakan nikmat yang kuciptakan pada tubuhnya.

Aku sendiri, karena akibat onani tadi, sudah beberapa kali harus
menahan desiran yang terus muncul dari pangkal selangkanganku.
Biasanya ini tanda orgasmeku mau datang. Tapi aku merasa sayang untuk
mengeluarkannya sekarang.

Seolah seperti membaca pikiranku, tiba-tiba Maryati memintaku untuk
segera menyemprotkan cairan maniku yang sedari tadi kutahan.
"Keluarin Mass... keluarin sekarang... di luar saja..." ia merintih
sambil menatapku sayu. Aku mengerti maksudnya. Maka segera kucabut
batang kemaluanku dan dengan posisi mengangkangi perutnya, aku lalu
melakukan onani di atas tubuhnya. Kukocok dan kukocok terus milikku
dengan kuat. Cairan kemaluan Maryati yang menempel di sekujur batang
kemaluanku makin memperlancar gerakan tanganku. Kepala kemaluanku
yang bulat mengkilat tampak tersengal-sengal dalam genggaman
tanganku. Maryati pun tampak menikmati sekali atraksi yang sedang
kulakukan di atas tubuhnya. Bahkan ia mulai meraba-raba kantung
pelirku. Oh tidak, ia tak cuma meraba, tapi juga meremas-remas
kantung bulat berkulit tebal itu. Membuat pinggul dan pantatku
bergerak-gerak seiring remasan tangannya. "Ooohhh, nikmat sekali..."

Aku menggeram tertahan, ketika akhirnya semprotan maniku yang pertama
memancar dengan kuat. Langsung mengenai wajah Maryati. Tapi ia dengan
senangnya merasakan sentuhan air kental hangat itu di pipinya.
Matanya tak sedikit pun lepas dari kemaluanku yang sedang meradang
memuntahkan semprotan-semprotan berikutnya. Semua memancar dan
menyemprot tak hanya ke wajahnya, tapi juga bibir dan buah dada
Maryati. Tangannya kulihat sibuk mengusap cairan putih kental itu dan
meratakannya ke permukaan payudaranya. Terakhir kulihat Maryati
menjilat sisa spermaku yang ada di ujung jarinya.

Aku betul-betul puas dengan semua ini dan puncak birahi ini telah
membuat seluruh sendi tubuhku serasa dilolosi sehingga aku terpaksa
harus menahan tubuhku agar tak rebah menjatuhi tubuh Maryati. Maka
dengan bertumpu pada kedua telapak tanganku, pelan-pelan aku
merundukkan tubuhku sehingga tubuhku merapat agak menindih dan
membuat batang kemaluanku mendarat tepat di sela-sela kedua bukit
buah dadanya. Rasa kenyal yang diciptakan membuatku bereaksi untuk
menggeser-geserkan pisang ambonku di celah kedua bukit itu. Ah...
geli sekali rasanya. Geli yang nikmat. Nikmat yang sangat. Beberapa
kali tubuhku sampai tersentak-sentak oleh rasa geli yang muncul
belakangan itu. Apalagi kedua telapak tangan Maryati kemudian menekan
kedua pantatku ke bawah dan memutar-mutarnya. Aku hanya bisa melenguh
menikmati bonus orgasme yang diberikannya.

"Enak Mas?" kata Maryati ketika akhirnya aku rebah di sebelah kiri
tubuhnya.
"Hhheehhh... " aku hanya bisa mendesah dan membalas kecupan bibirnya.
"Mas Is seksi banget kalau lagi ngocok..."
"Hmmm... asal jangan djadikan tontonan rutin saja..." sahutku masih
terengah.
"Kenapa?" tanyanya.
"Masak mau ngocok terus?" sahutku.
"Katanya sudah biasa..." katanya.
"Ya, tapi kan sekarang sudah ada Dik Mar", kataku.
"Kalau saya sedang nggak ada, atau lagi berhalangan, gimana?"
tanyanya.
"Tergantung. .." sahutku seenaknya.
"Tergantung apa?" tanyanya lagi.
"Tergantung yang menggantung! " kataku.
"Iiihhh..." tangan Maryati mencubit bagian tubuhku yang menggantung
itu. Aku sampai berteriak. Tapi kemudian ia membelai-belai mesra buah
pelirku.

"Bagaimana kalau yang berhalangan saya?" aku lalu gantian bertanya.
"Hmmm..." ia tampak berpikir.
"Ya, kalau dalam keadaan terjepit seperti itu ya harus bisa
memanfaatkan kesempatan.. ." katanya.
"Kok, kesempatan?" tanyaku heran.
"Iya, yang sempit-sempit harus diberi kesempatan untuk tetap menjepit
meskipun dalam keadaan terjepit..." jawabnya tenang sambil senyum-
senyum.

Aku tertawa ngakak mendengar balasannya yang cerdas itu. Segera
kurengkuh pinggangnya dan kutindih tubuhnya sebelum ia sempat
mengelak. Kutempelkan punyaku tepat di cekungan pangkal pahanya.

"Jadi, kapan lagi mau menjepit yang menggantung? " tanyaku bercanda
sambil menekan milikku ke miliknya.
"Itu sih tergantung dari yang mau terjepit..." sahutnya kocak sambil
sedikit menggoyangkan pinggulnya. Sialan, gerakannya membuatku
berdesir.

Tapi sore ini aku tak ingin terlalu menuruti hawa nafsu yang muncul.
Maryati pun bukan type wanita yang menggebu-gebu nafsu seksnya. Bagi
kami, yang penting adalah kualitas dalam bermain cinta, bukan
kuantitas atau frekuensinya.

Maka sore itu juga, setelah selesai mandi, Maryati memintaku untuk
mengantarnya pulang ke rumah. Selama di mobil kami ngobrol dan guyon-
guyon mengenai hal-hal yang ringan. Tak ada lagi acara saling remas
seperti siang tadi. Karena semuanya sudah tersalurkan.